REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR di ruang rapat paripurna DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9). Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat tersebut mengetok palu seusai menanyakan persetujuan anggota DPR yang hadir. Kemudian dijawab setuju oleh seluruh fraksi anggota DPR.
Sebelum palu diketok, Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher menyampaikan UU Pesantren ini telah melalui proses yang cukup panjang selama tujuh bulan. Dia menuturkan pada 25 Maret lalu merupakan rapat pertama RUU Pesantren sekaligus pembentukan panitia kerja atau panja atas RUU ini.
"Tujuh bulan rapat kerja, dalam pelaksanaannya pada 10 Juli panja menyepakati hal-hal strategis," kata dia. Salah satunya yaitu perubahan judul menjadi RUU Pesantren dari semula RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Panja RUU Pesantren juga menyerap aspirasi banyak pihak pada Agustus lalu dengan mengundang perwakilan pesantren dan rapat dengar pendalat dengan ormas Islam yaitu Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama, Persis, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia serta lainnya. "Seluruh aspirasi telah kami tampung," tuturnya.
Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren adalah salah satu bentuk pengakuan negara terhadap pesantren. Selain itu, Lukman menilai RUU Pesantren adalah upaya untuk memfasilitasi pesantren di Indonesia.
"RUU tentang pesantren dihadirkan karena adanya kebutuhan mendesak untuk dapat memberikan pengakuan atas independensi pesantren berdasarkan kekhasannya. Dalam fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat," ujar Lukman.
RUU Pesantren ini juga sekaligus menjadi landasan hukum untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi bagi pengembangan pondok pesantren. Subtansi dalam RUU ini dinilai Lukman sudah terbuka dengan perkembangan kelembagaan yang ada.
"Sekaligus sudah mengakomodasi ragam dan varian pesantren sebgaimanan fakta yang ada di masyarakat saat ini," ujar Lukman.
Sebelumnya, pembahasan RUU Pesantren sempat alot, khususnya terkait dana abadi pesantren. Musababnya, pemerintah menolak dana abadi pesantren menjadi dana alokasi baru. Sedangkan, DPR berkukuh dana abadi pesantren di luar alokasi dana abadi pendidikan.
Namun, akhirnya kedua belah pihak sepakat terkait hal tersebut. Dan sepakat mengesahkan RUU tentang Pesantren menjadi undang-undang.
Dalam Pasal 49 Ayat (1) berubah, menjadi pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan. Selain itu, Pasal 42 juga diubah dengan menghilangkan kata "dapat" sehingga bunyinya menjadi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan.