REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Sebuah bom meledak di luar kantor Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, Selasa (24/9) malam waktu setempat. Insiden itu menyebabkan tiga orang meninggal, satu di antaranya anak-anak, dan tujuh lainnya luka-luka.
Sputnik melaporkan, alat peledak itu dipasang di pintu masuk kantor Ghani. Belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Aksi penyerangan terhadap kantor Ghani terjadi saat Afghanistan hendak menggelar pemilu pada 28 September mendatang. Ghani berupaya memenangkannya untuk melanjutkan kepemimpinannya.
Namun, kelompok Taliban telah menolak penyelenggaraan pemilu tersebut. Sebelumnya, Taliban juga telah mengabaikan seruan pemerintahan Ghani untuk menerima gencatan senjata dan berpartisipasi dalam pemilu sebagai bentuk berakhirnya konflik selama 18 tahun.
Taliban memang enggan menjalin pembicaraan langsung dengan Pemerintah Afghanistan. Mereka menganggap pemerintahan itu hanya boneka. Sebagai gantinya, Taliban lebih memilih berunding dengan Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi sekutu Afghanistan.
Sejak tahun lalu, AS dan Taliban terlibat negosiasi dan pembicaraan. Salah satu topik utama yang mereka bahas adalah perihal penarikan pasukan AS yang berjumlah 14 ribu personel dari Afghanistan.
Menurut Taliban, penarikan pasukan akan menjadi pintu pembuka untuk melakukan pembicaraan intra-Afghanistan. AS dan Taliban hampir mencapai kesepakatan. Namun pada awal September lalu, Presiden AS Donald Trump memutuskan menyetop perundingan dengan Taliban.
Keputusan itu diambil setelah Taliban mengaku bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri di Ibu Kota Afghanistan, Kabul. Sebanyak 12 orang tewas dalam insiden itu, termasuk satu tentara AS.
Taliban pun mengkritik dan memprotes keputusan Washington. Mereka mengancam AS akan bertanggung jawab atas setiap pertumpahan darah yang terjadi di Afghanistan.