Jumat 27 Sep 2019 05:56 WIB

Mahasiswa Akan Bertemu Jokowi?

Pemerintah mendorong mahasiswa menyampaikan aspirasi lewat dialog.

Rep: DESSY SUCIATI SAPUTRI SAPTO ANDIKA CANDRA/ Red: Muhammad Subarkah
Seorang mahasiwa melintas di jalan Tol saat terjadi bentrokan dengan petugas kepolisian saat berunjuk rasa di depan gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/09/2019).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Seorang mahasiwa melintas di jalan Tol saat terjadi bentrokan dengan petugas kepolisian saat berunjuk rasa di depan gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/09/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana melakukan pertemuan dengan para pengurus badan eksekutif mahasiswa (BEM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, hari ini. Pertemuan itu digelar untuk menampung masukan mahasiswa yang dalam beberapa hari terakhir melakukan aksi demonstrasi menolak sejumlah rancangan undang-undang (RUU) dan UU KPK hasil revisi.

Rencana pertemuan tersebut diungkapkan langsung oleh Jokowi. "Besok (Jumat, 27 September) kami akan bertemu dengan para mahasiswa, utamanya BEM," ujar Jokowi saat memberikan pernyataan resminya di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9).

Jokowi mengapresiasi mahasiswa yang menggelar aksi unjuk rasa di berbagai daerah. Menurut Jokowi, aksi tersebut merupakan bentuk dari demokrasi di Tanah Air. Jokowi menyatakan, menampung dan mempertimbangkan aspirasi yang disampaikan dalam gerakan mahasiswa.

"Masukan-masukan yang disampaikan menjadi catatan untuk memperbaiki yang kurang di negara kita. Namun, aksi harus berjalan damai dan tak anarkistis," ujar dia.

Gelombang aksi penolakan terhadap UU KPK hasil revisi dan RUU kontroversial lainnya memuncak pada Selasa (24/9). Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus berunjuk rasa di depan gedung DPR/MPR, Jakarta.

Aksi dengan jumlah massa besar itu berhasil mendorong pemerintah dan DPR menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, dan dua RUU lainnya, yaitu RUU Pertanahan dan RUU Minerba yang masih dalam tahap pembahasan.

Kemarin, Jokowi mengundang Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir di Istana Kepresidenan. Nasir mengungkapkan, Presiden meminta dirinya mendatangi kampus-kampus untuk berdialog dengan para mahasiswa dan rektor. Presiden juga meminta agar gerakan mahasiswa di berbagai daerah dapat diredam sehingga stabilitas keamanan dapat terjaga.

Dengan adanya dialog, kata Nasir, para mahasiswa diharapkan tak lagi menyampaikan aspirasinya dengan melakukan aksi unjuk rasa. "Arahannya adalah jangan sampai kita menggerakkan massa. Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang tidak diinginkan oleh keamanan. Jangan sampai mengacaukan keamanan," kata Nasir.

Nasir menambahkan, pemerintah sedang menyisir pola pergerakan aksi mahasiswa. Dia menegaskan, sanksi akan diberikan kepada pihak rektorat apabila terbukti mengerahkan mahasiswa untuk berdemonstrasi.

"Dalam hal peringatan, SP-1 dan SP-2. Kalau menyebabkan kerugian pada negara, bisa tindakan hukum, rektor yang bertanggung jawab," kata Nasir seusai bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Kamis (26/9).

Nasir juga mengaku sudah meminta seluruh pimpinan perguruan tinggi di Tanah Air untuk memberi pengertian kepada mahasiswa agar lebih mengutamakan dialog dibandingkan aksi unjuk rasa. Ia khawatir gerakan mahasiswa ditunggangi pihak-pihak tertentu. "Kritik saya persilakan, tetapi dengan cara yang baik karena dia orang akademik. Orang yang memiliki intelektual yang baik."

Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, pemerintah semestinya menjadikan aksi demonstrasi mahasiswa dan sejumlah elemen sebagai alarm. Pemerintah juga disarankan tak menumpulkan sikap kritis mahasiswa dan masyarakat.

"Pemerintah dan DPR harus sensitif terhadap kritik dan aspirasi publik. Di satu sisi, ini gejala baik karena mahasiswa mulai kritis dan punya isu yang jelas," kata Khairul.

Elemen mahasiswa, lanjut dia, memiliki kesadaran yang baik dengan mengkritisi isu-isu yang melibatkan masyarakat luas, bukan isu politik identitas seperti yang marak pada pemilu. Oleh karena itu, ia berharap sikap kritis mahasiswa dapat dijaga.

Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti mengatakan, unjuk rasa mahasiswa dalam beberapa hari terakhir harus dijadikan momen evaluasi oleh pemerintah dan DPR. Ia pun mengingatkan agar aksi mahasiswa tak disikapi secara berlebihan oleh aparat keamanan.

"Ini momentum mengevaluasi sejauh apa agenda-agenda reformasi terwujud dalam sistem berbangsa dan bernegara saat di mana aktivis atau aktor-aktor reformasi 1998 banyak menempati posisi elite kekuasaan," katanya.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut pola kejadian kerusuhan pada demonstrasi 24-25 September mirip dengan pola demonstrasi 21-23 Mei. Menurut dia, kerusuhan yang terjadi itu terjadi cukup sistematis.

"Kerusuhan dimulainya sore hari berlangsung hingga malam hari. Ini terlihat cukup sistematis. Artinya, ada pihak-pihak yang mengatur itu," kata Tito dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (26/9).

Tito mengatakan, ada indikasi kelompok yang ingin mengambil momentum tersebut untuk melancarkan agenda tersendiri, bukan menuntut penundaan pengesahan revisi undang-undang. Kelompok itu diduga ingin menjatuhkan pemerintahan yang sah secara konstitusional.

"Ini yang kita lihat terjadi. Sehingga kita melihat seperti di Jakarta tidak tepat sudah caranya. Adanya penggunaan bom molotov, ada pembakaran, pembakaran pos polisi, ada pembakaran ban, bahkan ada pembakaran kendaraan," kata dia.

Menko Polhukam Wiranto menyebut, penunggang demonstrasi mahasiswa dan pelajar bertujuan menggagalkan pelantikan DPR dan presiden serta wakil presiden. Wiranto meyakini, yang bertindak brutal pada demonstrasi itu adalah perusuh, bukan mahasiswa atau pelajar. "Tujuan akhirnya adalah menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih," ujar Wiranto.

Ia mengatakan, demonstrasi mahasiswa dan pelajar sebenarnya sudah dilakukan dengan cara yang baik dan beretika. Namun, demonstrasi tersebut dirusak dengan perlakuan yang brutal oleh sekelompok orang.

"Kita sangat menyesalkan demonstrasi yang konstruktif, bernuansa koreksi, dan elegan diambil alih oleh demonstrasi yang tidak lagi mengarah kepada apa yang telah dijawab oleh pemerintah dan DPR," kata Wiranto.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement