REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polda Metro Jaya menetapkan 36 orang tersangka dalam aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh pada tanggal 24 dan 25 September lalu, di sekitar Gedung DPR. 36 orang yang ditetapkan sebagai tersangka terdiri 12 pelajar dan 24 mahasiswa.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Polda Metro Jaya, pada tanggal tersebut polisi mengamankan sebanyak 105 mahasiswa. Rinciannya, 24 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan 81 orang lainnya telah dipulangkan.
Sementara itu, polisi turut mengamankan 15 pelajar SMP dan SMA.12 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Namun, tiga orang lainnya dikembalikan ke orang tua masing-masing.
Tidak hanya itu, pada tanggal 25 dan 26 September, polisi kembali mengamankan 15 mahasiswa dan 83 pelajar. Kendati demikian, belum ada informasi lebih lanjut terkait apakah ada yang ditetapkan tersangka dan jumlah orang yang dipulangkan.
Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Suyudi Ario Seto mengatakan, 24 mahasiswa dan 12 pelajar yang telah ditetapkan sebagai tersangka melakukan penyerangan dan pengerusakan terhadap fasilitas umum.
"Macam-macam (alasan ditetapkan sebagai tersangka), seperti menyerang petugas, pengerusakan secara bersama-sama dan bahkan ada yang melakukan pembakaran," kata Suyudi kepada wartawan, Jumat (27/9).
Suyudi menyebut, hingga kini, para tersangka itu masih menjalani pemeriksaan intensif di Polda Metro Jaya. Sementara, para pelajar yang masih berusia di bawah 18 tahun telah dititipkan di Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani, Jakarta.
"Ditahannya dengan dititipkan ke balai aman Handayani setelah melalui proses diversi dengan didampingi pihak Bapas," ucapnya.
Ia menambahkan, para tersangka dikenakan Pasal 170, 212, 214, 406, 187 KUHP. Seperti diberitakan sebelumnya, aksi unjuk rasa dilakukan oleh aliansi mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil pada tanggal 24-25 September. Aksi unjuk rasa itu berakhir ricuh antara massa pendemo dengan aparat keamanan di sekitar Kompleks Parlemen Senayan.
Demo tersebut digelar untuk menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).