REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Setidaknya dua orang terbunuh, dan 200 lainnya mengalami luka dalam bentrokan antara pasukan keamanan dan pendemo. Dilansir melalui Reuters, Rabu (2/10), pihak kepolisian menggunakan gas air mata, meriam air, dan tembakan langsung untuk membubarkan demonstrasi.
Para demonstran memprotes terkait pengangguran, korupsi, dan layanan publik yang buruk. Aksi protes utama terjadi di Baghdad, dan beberapa daerah lain.
Pernyataan pemerintah dan juru bicara kementerian kesehatan mengatakan, satu orang tewas, dan 40 anggota pasukan keamanan termasuk di antara mereka yang terluka. Namun, pihak pemerintah tidak mengatakan di mana kematian itu terjadi.
Sumber-sumber kepolisian di kota selatan Nassiriya mengatakan, seorang pemrotes di sana ditembak mati. Pernyataan pemerintah mengatakan, bahwa kelompok penghasut memiliki andil atas kekerasan. Pasukan keamanan hingga kini masih bekerja untuk memastikan keamanan para pengunjuk rasa agar damai.
Di Baghdad, polisi melepaskan tembakan ke udara ketika sekitar 3.000 pengunjuk rasa mencoba menyeberangi jembatan yang mengarah ke Zona Hijau Baghdad yang dibarikade yang menampung gedung-gedung pemerintah dan kedutaan asing.
Wartawan Reuters melihat beberapa orang dengan darah menutupi wajah mereka. Ambulans bergegas masuk untuk mengangkut korban luka. Pasukan keamanan memblokir jalan dan menggunakan granat kejut dan meriam air untuk membuat demonstran mundur. Para pengunjuk rasa menolak untuk pergi sehingga pasukan keamanan melepaskan tembakan.
Kemarahan publik membara karena kurangnya kesempatan kerja yang kronis, listrik dan air bersih. Rakyat Irak menyalahkan para politisi dan pejabat karena korupsi endemik yang mencegah Irak pulih setelah bertahun-tahun konflik sektarian dan perang yang menghancurkan untuk mengalahkan Negara Islam. "Ini bukan pemerintah, itu adalah sekelompok partai dan milisi yang menghancurkan Irak," kata seorang pemrotes yang menolak menyebutkan namanya karena takut akan pembalasan.
Kelompok paramiliter Muslim Syiah yang dikenal sebagai Pasukan Mobilisasi Populer memainkan peran besar dalam politik Irak dan memiliki perwakilan di parlemen dan pemerintah. Mereka juga mengendalikan bagian ekonomi Irak, yang mereka tolak.
Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi mengeluarkan pernyataan menjanjikan pekerjaan bagi para lulusan pada kesempatan rapat kabinet mingguan, Selasa. Dia menginstruksikan kementerian perminyakan dan badan pemerintah lainnya untuk mulai memasukkan kuota 50 persen untuk pekerja lokal dalam kontrak berikutnya dengan perusahaan asing.
Irak yang kaya minyak telah menderita selama beberapa dekade di bawah pemerintahan Saddam Hussein dan sanksi-sanksi Amerika Serikat. Selain itu invasi dan perang saudara yang dipimpin Amerika Serikat tahun 2003 yang dilancarkannya, dan pertempuran melawan Negara Islam, yang dinyatakan menang pada tahun 2017 juga membuat Irak terpuruk.