Ahad 06 Oct 2019 02:35 WIB

Pasca-Kerusuhan, Hong Kong Mendadak Sepi

pawai yang lebih besar yang direncanakan berlangsung pada Ahad (6/10) ini.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Endro Yuwanto
Warga Hong Kong berkumpul di mal di Sha Tin, Rabu (2/10), sebagai bentuk demo aras tertembaknya pengunjuk rasa muda di dada oleh kepolisian.
Foto: AP
Warga Hong Kong berkumpul di mal di Sha Tin, Rabu (2/10), sebagai bentuk demo aras tertembaknya pengunjuk rasa muda di dada oleh kepolisian.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG  -- Demonstrasi yang memicu kerusuhan karena pelarangan penggunaan masker wajah pada Jumat (4/10) terhenti sejenak. Suasana di Hong Kong pasca-kerusuhan tersebut menjadi sangat sunyi.

Sejak Jumat malam, kerusuhan ratusan pengunjuk rasa itu telah bubar. Bukan tanpa alasan, pembubaran tersebut juga menjadi persiapan untuk pawai yang lebih besar yang direncanakan berlangsung pada Ahad (6/10) ini.

Hasil dari unjuk rasa Jumat kemarin membuat kereta bawah tanah dan pusat perbelanjaan seluruhnya tutup. Penutupan tersebut juga dipercaya belum pernah terjadi sebelumnya.

Hingga kini, operator kereta api MTR Corp menghentikan semua layanan. Alhasil, hal tersebut juga melumpuhkan jalannya pusat keuangan Asia itu. Sejumlah mal dan toko juga sudah tutup lebih awal setelah malam kekacauan yang puncaknya ketika polisi menembak seorang anak remaja, selain aksi pengunjuk rasa yang membakar properti dan stasiun metro.

Protes yang meletus pada Jumat di bekas koloni Inggris itu, berlangsung hanya dalam waktu beberapa jam setelah pemimpinnya, Carrie Lam, menggunakan kekuatan darurat era kolonial untuk pertama kalinya. Ia mengeluarkan kebijakan untuk melarang penggunaan masker wajah yang digunakan para demonstran, yang ditujukan menyembunyikan identitas.

"Perilaku radikal perusuh membawa Hong Kong melewati malam yang sangat gelap, membuat masyarakat hari ini setengah lumpuh," Ujar Lam dalam pidatonya seperti dilansir Reuters, Sabtu (5/10).

Menurut Lam, kekerasan ekstrem dengan jelas menggambarkan keselamatan publik Hong Kong yang terancam. Atas keputusan itulah pihaknya merencanakan UU Darurat untuk memperkenalkan undang-undang anti-topeng.

 

Tidak terpengaruh oleh larangan dan penghentian transportasi, ratusan demonstran pro-demokrasi masih banyak yang memakai topeng. Mereka berbaris dari distrik Causeway Bay pada Sabtu, meskipun tak ada aksi kerusuhan seperti Jumat sebelumnya.

Salah satu demonstran, Sue (22 tahun) mengatakan bahwa demonstran harus tetap turun ke jalanan untuk menyuarakan hak dasar. Utamanya mengenakan topeng.

"Pemerintah perlu mempelajari UU Darurat itu lagi. Mereka tidak dapat menekan orang-orang Hong Kong seperti ini," Kata Sue yang mengenakan topeng hitam dan kacamata hitam ke pawai di Causeway Bay.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement