REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendy mengatakan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan revitalisasi sekolah menengah kejuruan (SMK) melalui instruksi presiden (inpres) nomor 9 tahun 2016 tak lepas dari rendahnya serapan tenaga kerja dari lulusan SMK. Meski begitu, Muhajir menilai dampak kebijakan revitalisasi belum akan terlihat dalam jangka pendek lantaran baru dimulai pada 2018.
"Memang perlu waktu karena secara teoritis, kita tidak mungkin betul-betul bisa menyiapkan tenaga kerja yang siap pakai dari sekolah," ujar Muhajir usai rapat koordinasi tentang vokasi di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (7/10).
Oleh karenanya, kata Muhajir, diperlukan pelatihan kerja sebelum para lulusan SMK benar-benar memasuki dunia kerja. Dengan revitalisasi, Muhajir mengharapkan adanya peningkatan kualitas lulusan SMK lantaran akan mendapat pelatihan kerja oleh para industri. Selain itu, lanjut Muhajir, para lulusan SMK juga diarahkan mengikuti pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) milik Kementerian Tenaga Kerja.
"Kementerian Tenaga Kerja punya Balai Latihan Kerja sebagai jembatan untuk akomodasi lulusan yang masih segar agar bisa bekerja," ucap Muhajir.
Muhajir menilai kesuksesan revitalisasi SMK merupakan tugas bersama, baik pemerintah maupun sektor industri. Selain Kemendikbud dan Kementerian Tenaga Kerja, kata Muhajir, pemerintah telah menerbitkan aturan pengurangan pajak penghasilan (PPh) atau insentif super deduction kepada para perusahaan yang turut membantu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada lulusan SMK.
"Palang pintunya Kementerian Tenaga kerja, itu jembatan penghubung sekolah dan dunia kerja. Kemenperin juga karena sekarang sudah ada kebijakan presiden soal super deduction jadi perusahaan yang bantu sekolah dan balai latihan kerja itu ada pemotongan pajak," kata Muhajir.