Senin 07 Oct 2019 20:55 WIB

Pemain Lokal Belum Manfaatkan Potensi Industri Halal

Cakupan sertifikasi halal produk makanan Indonesia jauh lebih rendah dari Malaysia.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.
Foto: Republika/Andi Nur Aminah
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Industri Halal FEB UI, Banu Muhammad, mengatakan, potensi besar industri halal nasional belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para pemain lokal. Industri halal justru lebih banyak dikuasai oleh perusahaan multinasional yang banyak berasal dari negara non-Muslim.

Menurut Banu, industri inilah yang sangat siap menghadapi kewajiban sertifikasi halal yang akan segera berlaku dalam waktu dekat. "Industri besar ini sangat siap, tapi yang industri kecil dan menengah sepertinya agak berat," kata Banu kepada Republika, Senin (7/10).

Baca Juga

Banu mengatakan, dibandingkan Malaysia, cakupan sertifikasi halal produk makanan Indonesia masih jauh lebih rendah. Produk makanan Indonesia yang bersertifikat halal bahkab belum mencapai 60 persen, sedangkan Malaysia mencapai 90 persen.

Meski demikian, Banu optimistis, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan tersebut. Menurut Banu, gerakan masyarakat yang masif untuk sertifikasi halal nantinya akan diikuti oleh gerakan dan insentif dari pemerintah.

Sementara itu, Presiden World Halal Industry & Trade Alliance (WHITA) Betha A Djardjis, mengakui pemberlakuan Undang Undang Jaminan Produk Halal baik untuk ummat Muslim maupun non Muslim. Namun, agar penerapan nya tidak jadi beban bagi UMKM, sebaiknya pemerintah bersinergi dengan berbagai pihak membantu meringankan beban UMKM.

"Salah satunya menerapkan sistem manajemen digital terhadap UMKM sehingga semua Hal dalam operational UMKM bisa di kontrol secara real-time," kata Betha.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement