REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi Cepat Tanggap (ACT) berencana membangun selter atau hunian sementara bagi para korban gempa bumi di wilayah Provinsi Maluku. Hingga kini, para penyintas masih mengungsi dengan kondisi cukup memprihatinkan.
"Kami akan terus melanjutkan berbagai skenario program dari tahapan emergency, recovery hingga konstruksi," kata Ketua Dewan Pembina ACT Ahyudin saat konferensi pers bertajuk #MalukuMemanggilmu di Menara 165 Jakarta, Rabu (9/10).
Melihat kondisi saat ini yang sebentar lagi memasuki musim hujan, ACT khawatir tenda-tenda pengungsi tersebut tidak efektif dan laik untuk dijadikan hunian sementara atau penampungan. Apalagi, kata dia, bisa saja selama satu tahun ke depan para pengungsi yang kehilangan rumah, harta benda bahkan anggota keluarga tersebut belum memiliki rumah yang bisa dijadikan tempat tinggal permanen.
"Sebagai contoh kondisi di Lombok dan Palu sudah setahun berlalu tapi belum kunjung menyeru, ini yang kami khawatirkan juga terjadi di Ambon," katanya.
Meskipun demikian, lembaga kemanusiaan nirlaba itu telah membuktikan diri dengan mendirikan sekitar 7.000 unit rumah dan 133 masjid permanen di Lombok dan Palu. Rencana pembangunan selter atau rumah sederhana tersebut, diakuinya membutuhkan biaya besar sehingga harus banyak pihak terlibat untuk saling membantu korban terdampak bencana alam.
"Biayanya cukup besar, biasanya satu unit itu bisa memakan anggaran Rp 50 juta," katanya.
Dalam menyikapi bencana alam yang terjadi di sejumlah Tanah Air, penanganan bagi korban tidak cukup hanya dengan memberikan trauma healing atau pemulihan trauma serta bantuan medis saja. Namun, penyediaan tempat hunian laik juga suatu keharusan.
Setelah pemberian logistik, medis, trauma healing dan hunian yang nyaman barulah proses rekonstruksi sekolah, rumah ibadah, pasar serta sarana prasana umum lainnya dilakukan.