REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. suara azan terdengar kurang jernih. Sumbernya ber asal keluar dari speaker yang tergantung di dua po hon kelapa. Di bawahnya, ada gubuk beratapkan seng. Bahan din dingnya kombinasi antara triplek, spanduk bekas, dan ram kawat. Gubuk itu menjadi tempat muazin mengumandangkan azan dengan pengeras suara sekadarnya.
Letak gubuk yang dijadikan mushala itu ada di atas bukit. Tebing berbahan batu raksasa mengelilinginya. Meski begitu, langkah warga desa untuk menunaikan shalat berjamaah tidak surut. Suara azan membuat mereka langsung menghentikan aktivitas memecah batu.
Daya tampung gubuk itu hanya 30 orang. Dahulu, gubuk itu merupakan kan dang sapi. Seorang pemuda luar kampung menyulapnya menjadi mushala sekaligus tempat mengaji dan menimba ilmu. Karding, nama lelaki asal Bone baru berusia 25 tahun. Dia dikirim Baitul Mal Hidayatullah (BMH) untuk berdakwah di Kampung Malengnge, Desa Balocci Baru, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.
Karding yang merupakan satu dari ribuan dai tangguh BMH, tengah berjuang untuk mewujudkan mimpi warga agar bisa menunaikan shalat Jumat. Bertahun-tahun, mereka tidak bisa melakukan shalat far dhu pekanan itu karena tidak memiliki masjid.
Masjid terdekat dari Kampung Ma lengnge jaraknya amat jauh jika ditempuh berjalan kaki. Kontur jalan menuju kam pung itu pun menanjak terjal. Bahannya ter buat dari batu dan tanah.
Ketika kemarau jalannya berdebu. Bila musim penghujan jalannya sangat licin. Mereka pun sulit mendatangi masjid yang memiliki waktu tempuh berkisar dua jam. Untuk itu, pemuda yang kini disapa Ustaz Karding itu hendak membangun masjid dan pondok pesantren di kampung berpenghuni 30 keluarga.
Dianggap sesat dan gila
Karding harus menghadapi tantangan berdakwah sejak sebelum sampai di Kam pung Malengnge. Dia sempat menawarkan diri menjadi pengajar TPA dan imam di masjid-masjid di daerah sekitar Makassar tanpa bayaran. Sayangnya, niat Karding tak berbalas. Dia tak diterima karena su dah ada imam dan ustaz di masjid-masjid tersebut.
Takdir mempertemukan Karding de ngan Haji Yusuf. Seorang pemilik tanah yang hendak mewakafkan asetnya itu un tuk masjid dan pesantren. Dua kali me nyambangi Haji Yusuf, dua kali juga Kar ding ditolak. Haji Yusuf belum yakin Karding menjadi sosok yang tepat sebagai pengelola wakafnya itu.
Karding tak menyerah. Pada kesempatan ketiga, hati Haji Yusuf pun luluh. "Kalau kamu serius, datanglah ke Kampung Malengnge, tapi di sana gersang dan tidak ada sumber air, lokasi nya jauh di atas bukit, jalan ke sana pun susah," ujar Ustaz Karding meniru perka taan Haji Yusuf.