REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Sukoso menegaskan, penerapan wajib sertifikat halal yang mulai berlaku sejak Kamis (17/10) lalu, bukan menjadi patokan bahwa seluruh produsen yang belum memiliki sertifikat halal akan dikenai pidana. Justru, Sukoso mengatakan, bahwa ini adalah awal dari sebuah sistem kewajiban sertifikasi halal di Indonesia.
"Perlu saya jelaskan, tahun ini adalah awal dari berlakunya jaminan produk halal, jadi bukan berarti ketika UU JPH berlaku segalanya harus bersertifikat halal," tegas Sukoso kepada Republika Jumat (18/10).
"Perlu diingat bahwa saat ini belum ada tindakan pidana yang berlaku bagi produsen yang belum memiliki sertifikat halal," sambungnya.
Menurut dia, pada lima tahun pertama penerapan UU JPH, BPJPH akan fokus menggelar pembinaan bagi produsen yang tertarik mendaftar sertifikasi halal. Melalui pembinaan itu, BPJPH akan mengarahkan para produsen untuk memenuhi berbagai persyaratan dan ketentuan untuk mendapatkan sertifikat halal.
"Di sini kami juga bekerjasa sama dengan institusi lain yang memiliki data produsen atau UMKM di bawah naungan mereka, sehingga jangkauan produsen dapat lebih luas," kata Sukoso.
Adapun sanksi bagi produsen yang belum mengantongi sertifikat, kata Sukoso, akan mulai diterapkan pada 2025 mendatang. Untuk mempersiapkannya, Sukoso mengaku telah bekerjasama dengan Polri untuk mempersiapkan sanksi pidana bagi produsen yang terbukti mangkir.
"Nanti setelah lima tahun UU JPH berjalan, mekanisme normal akan berlaku, dan akan mulai diterapkan sanksi atau pidana bagi produsen yang terbukti melalaikan kewajiban sertifikat halal. Maka dari itu kami sudah bekerjasama dengan Polri untuk menindak produsen yang 'nakal'. Namun untuk saat ini kami hanya akan memberikan mereka pembinaan saja," jelasnya.
Sebagai tahap awal, kewajiban sertifikasi halal diberlakukan terlebih dahulu untuk produk makanan dan minuman (Mamin) sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2019 tentang Jaminan Produk Halal. Sukoso menjelaskan, pertimbangan untuk memprioritaskan proses sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman, didasari oleh sejumlah hal.
Salah satunya karena produk makanan dan minuman merupakan produk primer bagi masyarakat dan sangat memerlukan kejelasan kehalalannya.
"Untuk lima tahun pertama, BPJPH memprioritaskan produk makanan dan minuman, karena ini merupakan produk primer bagi masyarakat yang sangat penting kejelasan kehalalannya. Produsen makanan dan minuman juga sangat banyak, begitu juga varian produknya, belum lagi dengan produsen baru yang bermunculan. Maka kami memberikan waktu yang cukup lama untuk proses sertifikasinya," kata Sukoso.
Sedangkan layanan sertifikasi bagi produk di luar makanan dan minum seperti obat atau kosmetik, kata Sukoso, rencananya akan mulai dibuka pada 2021. BPJPH, katanya, juga sudah bekerjasama dengan Kemenkes untuk proses sertifikasi tersebut.
"Di situ juga ada masa penahapan yang berbeda, tergantung kompleksitas produknya. Kita sudah diskusikan dengan Kemenkes, misalnya, obat tradisional itu 7 tahun, suplemen kesehatan 7 tahun, obat bebas dan obat bebas terbatas 10 tahun, lalu obat keras 15 tahun, dan seterusnya," jelasnya.