Jumat 25 Oct 2019 17:24 WIB

Genjot Serapan Pemda, Dedi Usulkan Ini ke Tito

Prosedur pengelolaan yang relatif rumit administratif.

Rep: Arie Lukihardianti / Red: Agus Yulianto
Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi.
Foto: dok. Pribadi
Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian akan menyisir daerah-daerah yang mengalami penyerapan anggaran rendah. Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menilai, rendahnya penyerapan anggaran di sebuah kelembagaan bisa disebabkan beberapa hal.

Pertama ketidaktepatan perencanaan. Lalu kedua, prosedur pengelolaan yang relatif rumit administratif. Ketiga, adalah rasa takut di kalangan penyelenggara negara.

"Rasa takut di kalangan penyelenggara negara terjadi karena belum sinkronnya berbagai institusi negara terhadap konsen penyerapan anggaran," ujar Dedi kepada wartawan, Jumat (25/10).

Untuk mengatasinya, Dedi mengusulkan, harus ada perubahan mekanisme birokrasi. Salah satunya ialah penyederhaanaan proses lelang. Kedua, mekanisme pembayaran dilakukan setelah semua pekerjaan selesai dan sudah dilakukan audit.

Selama ini, kata dia, pembayaran dilakukan secara bertahap dengan sistem termin. Sistem itu tidak efektif dan malah membuat birokrasi kian rumit. Belum lagi nanti jika ada sisa anggaran, menagihnya ke pihak ketiga atau pemborong akan susah.

"Bahkan terkadang ada pemborong yang bilang lebih baik dipenjara daripada harus mengembalikan uang. Nah, nanti yang repot kepala dinas" katanya.

Selain itu, dengan sistem saat ini, proses auditnya memakan waktu yang lama. Misalnya, pekerjaannya selesai bulan Juli, nanti diaudit Maret atau April tahun berikutnya. Pekerjaan yang diaudit pun berupa sampel, tidak menyeluruh sehingga dikhawatirkan baiknya kualitas pekerjaan tidak merata.

Menurutnya, jika sistem audit dilakukan setelah pekerjaan selesai, maka penyimpangan pengelolaan kegiatan tidak akan pernah ada.

"Kalau akhirnya lelang disederhanakan dan pekerjaan dibayar setelah hasil diaudit, bisa tidur nyenyak," katanya.

Selain itu, kata dia, auditor juga harus bisa mempertanggungjawabkan hasil auditnya. Sebab, seringkali terjadi pekerjaan yang selesai tetap menjadi ranah penyelidikan. Jadi akhirnya tidak ada kepastian hukum.

Dedi juga mengusulkan, proses penyelidikan pada sebuah kasus tindak pidana korupsi dilakukan setelah ditemukan adanya kerugian negara. Bukan terbalik, kerugian negara baru diaudit investigatif setelah panjang dan rumitnya penyelidikan. "Itu yang mengakibatkan kelelahan birokrasi," katanya.

Untuk mencegah kebocoran, Dedi mengusulkan, komponen produksi seiring dengan hilangnya struktur eselon, yang dibayar dalam bentuk honorarium pegawai dilakukan setelah produksi selesai.

"Misalnya, pekerjaan senilai Rp 1 miliar dan sudah 100 persen dibayar, itu nanti harus ada komonen dipisah untuk penyelenggara kegiatan. Diambillah misalnya 2 persen dari total pekerjaan untuk honor pegawai," papar Dedi.

Kalau kebijakan itu dibuat, kata dia, maka birokrasi dapat uang legal dari lelahnya bekerja dan bebas dari kebocoran. Dedi juga mengusulkan agar institusi Inspektorat harus diubah pertanggungjawabannya bukan pada bupati, tetapi secara vertikal. Bertanggung jawab langsung ke provinsi dan pusat. "Atau tempatkan pegawai BPK di daerah," katanya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement