Rabu 30 Oct 2019 06:49 WIB

Bagi Wanita Yazidi, Kematian Baghdadi Bukan Berarti Keadilan

Milisi ISIS melakukan kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan Yazidi.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Pengungsi dari agama minoritas Yazidi membeli sayuran di Kamp Sharya di Duhok, Irak, Selasa (29/10).
Foto: REUTERS/Ari Jalal
Pengungsi dari agama minoritas Yazidi membeli sayuran di Kamp Sharya di Duhok, Irak, Selasa (29/10).

REPUBLIKA.CO.ID, SHARYA CAMP -- Kematian pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi tidak ada artinya bagi para perempuan dari agama minoritas Yazidi. Mereka diperkosa oleh militan ISIS setelah serangan terhadap tanah kelahiran Yazidi di Irak utara pada Agustus 2014.

"Bahkan jika Abu Bakar al-Baghdadi sudah mati, itu tidak berarti ISIS sudah mati," kata salah satu perempuan korban ISIS Jamila di luar tendanya yang menjadi rumah sementara di kamp Sharya untuk pengungsi Yazidi di Kurdistan Irak.

Baca Juga

Perempuan berusia 19 tahun itu adalah satu dari ribuan wanita Yazidi yang diculik dan diperkosa oleh ISIS. Dengan kematian Baghdadi, itu bukan tanda keadilan telah ditegakkan. Dia ingin seluruh militan yang memperbudaknya ikut diadili.

"Saya ingin orang-orang yang membawa saya, yang memperkosa saya, diadili. Dan saya ingin suara ini didengar di pengadilan. Saya ingin menghadapi mereka di pengadilan. Tanpa pengadilan yang tepat, kematiannya tidak ada artinya," ujar Jamila.

Bersama ribuan perempuan dan anak-anak lainnya, Jamila mengatakan, dia diperbudak oleh para militan dan ditahan selama lima bulan di kota Mosul bersama dengan saudara perempuannya. Dia baru berusia 14 tahun ketika dia ditangkap.

Ketika Jamila dan saudara-saudaranya dapat melarikan diri dari penculikan itu, masalah belum berakhir. Dia harus menghadapi masa-masa sulit karena selama ditahan harus berhadapan dengan penyalahgunaan narkoba oleh militan ISIS.

"Ketika saya pertama kali kembali, saya mengalami gangguan saraf dan masalah psikologis selama dua tahun, jadi saya tidak bisa pergi ke sekolah," kata Jamila.

photo

Sekarang, alih-alih bekerja atau mengejar tahun-tahun sekolahnya yang hilang, Jamila memilih merawat ibunya di tendanya yang sempit di kamp. "Ibu saya tidak bisa berjalan dan memiliki masalah kesehatan sehingga saya harus tinggal dan merawatnya karena kakak saya ada di Jerman,” katanya.

Kembali ke Sinjar di Irak utara bukanlah pilihan bagi Jamila dan banyak perempuan lainnya. Kota ini masih menjadi reruntuhan sejak empat tahun serangan ISIS dan kecurigaan merebak di wilayah campur etnis itu.

"Sinjar hancur total. Bahkan jika kami bisa kembali, aku tidak mau karena kami akan dikelilingi oleh tetangga Arab yang sama yang semuanya bergabung dengan ISIS sebelumnya, dan membantu mereka membunuh kita (Yazidi)," kata Jamila.

Ribuan pria diadili di pengadilan Irak karena hubungan mereka dengan ISIS. Irak sejauh ini tidak mengizinkan para korban bersaksi di pengadilan, sesuatu yang oleh para pemimpin masyarakat dan kelompok hak asasi manusia ini menyulitkan proses penyembuhan korban.

"Sangat disayangkan tidak satu pun korban pelanggaran mengerikan ISIS termasuk perbudakan seksual mendapatkan hari mereka di pengadilan," kata Peneliti Irak untuk Human Rights Watch Belkis Wille.

Wille menyatakan, sistem peradilan Irak dirancang memungkinkan negara membalas dendam massal terhadap tersangka dan tidak memberikan pertanggungjawaban nyata bagi para korban. Bagi sebagian dari hampir 17 ribu Yazidi di kamp Sharya, kematian Baghdadi adalah langkah pertama ke arah itu, meskipun mereka takut milisi ISIS yang masih hidup.

Baghdadi memimpin ISIS sejak 2010 dan tewas bunuh diri dengan meledakkan rompi ketika terpojok dalam serangan pasukan khusus Amerika Serikat di Suriah barat laut. Presiden AS Donald Trump memberikan rincian informasi tersebut pada akhir pekan.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement