REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tahun ini lakon JJ Sampah Kota kembali dihadirkan oleh Teater Koma. Terdapat sejumlah perbedaan antara pentas teater yang dibawakan pada 1979 dan 2019, diantaranya adalah soal penerapan teknologi multimedia.
Sutradara Lakon JJ Sampah Kota Rangga Riantiarno mengatakan, salah satu keunikan dalam lakon kali ini adalaha dengan adanya penggunaan proyektor multimedia. “Teknologi itu digunakan untuk menghadirkan salah satu tokoh dalam lakon tersebut,” kata Rangga.
Dalam pementasan lakon tersebut pada 1979, tokoh itu dihadirkan dengan sebuah boneka. Kali ini, tokoh itu dihadirkan dengan multimedia sehingga lebih interaktif karena tokoh tersebut juga berdialog dan ikut bernyanyi dengan pemeran lain.
Kesan kekinian pun tak hanya disajikan lewat penerapan teknologi. Karena, sejumlah musik pengiring yang dipilih pun merupakan lagu-lagu terkini yang lebih mengena bagi penonton.
Lagu aransemen bernuansa lawas pun tetap dihadirkan demi menjaga aura nostalgia dari lakon yang ditulis oleh ayah Rangga, Nano Riantiarno.
Urusan eksplorasi musik dalam lakon dipercayakan kepada Fero A. Stefanus yang menghadirkan aransemen dan komposisi yang unik. Aspek audio itu pun didukung dengan tata artistik dari Idries Pulungan dan tata cahaya dari Deray Setyadi.
“Seluruh perpaduan itu dikemas untuk menyampaikan pesan utama soal harapan agar para pemimpin di negeri ini dapat lebih mengedepankan nurani. Sehingga, persoalan kemiskinan dan korupsi dapat ditekan,” ujarnya.
Ia pun mengaku, meski naskah yang digunakan sama seperti dalam pementasan pertama kali, tapi pesan dalam lakon itu dinilai masih relevan untuk dibawakan kembali oleh Teater Koma. Pasalnya, isu terkait kemiskinan, kejujuran dan korupsi masih terus menjadi persoalan penting.
Nano mengatakan, saat itu, ia menulis lakon tersebut untuk didedikasikan kepada istri dan anaknya. Kini, karya yang disutradarai oleh anaknya itu akan dipentaskan pada 8 November hingga 17 November 2019 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta.
“Naskah yang dihadirkan masih sama seperti yang dipentaskan pada 1979. Hanya ada beberapa bagian yang lebih dipadatkan saja,” kata Nano.
Lakon ini sendiri mengangkat kisah soal sepasang suami istri Jihan dan Juron (J dan J). Meski mengambil judul soal sampah kota, tapi pokok pikiran yang disampaikan dalam lakon ini adalah soal kejujuran dan kemiskinan. Menurutnya, judul dengan kata sampah kota dipilih karena pemeran utama dalam teater ini merupakan keluarga pemulung yang hidup di antara tumpukan sampah.