Kamis 31 Oct 2019 12:19 WIB

Datanglah ke Australia: Pengadilan Batalkan Pajak Backpacker

Pajak backpacker selama ini tidak sah karena bersifat diskriminatif.

Rep: Farid M Ibrahim/ Red:
.
.

Puluhan ribu backpacker yang pernah bekerja di Australia kemungkinan akan dikembalikan pajaknya, setelah pengadilan memutuskan bahwa kebijakan pajak terhadap mereka tidak sah.

Pajak Backpacker Tak Sah:

  • Pengadilan Federal di Brisbane membatalkan "pajak backpacker" yang dikenakan pekerja working holiday visa
  • Mereka yang terdampak akan dikembalikan pajak yang dipotong dari penghasilan selama bekerja di Australia
  • Kalangan petani menyambut baik keputusan ini

 

Pengadilan Federal di Brisbane pada hari Rabu (30/10/2019) memutuskan, pajak backpacker yang diterapkan kantor pajak Australia (ATO) selama ini tidak sah karena bersifat diskriminatif.

Kasus ini berawal ketika Catherine Addy, seorang backpacker asal Inggris, menggugat kebijakan ATO tersebut ke pengadilan.

Dia pernah bekerja di sektor perhotelan selama berada di Australia dari tahun 2015 hingga 2017.

Dalam keterangan tertulis yang disampaikan pengacaranya kepada ABC News, Addy menilai pajak yang lebih berat terhadap orang asing dibanding warga Australia yang mengerjakan pekerjaan yang sama, jelas tidak adil.

"Menurut akal sehat, tak peduli negara asal kita, jika kita melakukan pekerjaan yang sama maka seharusnya kita mendapatkan bayaran yang sama," katanya.

Setiap tahun sekitar 150.000 orang asing datang ke Australia dengan visa liburan kerja (WHV), dan keputusan pengadilan ini kemungkinan berdampak pada minimal sebagian di antaranya.

Pengadilan menganggap pajak backpacker merupakan "bentuk diskriminasi berdasarkan kebangsaan" karena bertentangan dengan klausul non-diskriminasi dalam perjanjian perpajakan antara Inggris dan Australia.

Australia juga memiliki perjanjian serupa dengan Amerika Serikat, Jerman, Finlandia, Chili, Jepang, Norwegia, dan Turki.

 

Pajak backpacker yang diterapkan ATO ditujukan kepada pemegang Visa 417 dan 462 yang berpenghasilan kurang dari 18.200 dolar pertahun.

Mereka dikenai kewajiban pajak 15 persen, padahal pekerja lainnya di Australia dengan tingkat penghasilan yang sama, tidak dikenakan pajak alias bebas pajak.

Kepada ABC, ATO menyatakan jumlahnya bisa saja lebih kecil karena kasus ini hanya berdampak pada pemegang visa WHV namun dianggap sebagai "penduduk Australia".

Jubir ATO menyatakan pihaknya menganggap bahwa kebanyakan pemegang visa WHV merupakan "bukan penduduk" sehingga keputusan pengadilan ini tidak berdampak pada mereka.

"Keputusan ini hanya berdampak minoritas pemegang visa WHV yang juga penduduk, dan hanya untuk mereka yang berasal dari negara yang memiliki perjanjian pajak ganda dengan Australia," jelasnya.

Dijelaskan bahwa jika ATO nantinya tidak banding, maka para pekerja backpacker yang terdampak akan menerima kembali pajak penghasilan yang dipotong selama bekerja di Australia.

Datanglah ke Australia

 

Jubir Federasi Petani Negara Bagian Victoria, Emma Germano, menyambut baik keputusan pengadilan ini karena bisa memulihkan reputasi Australia sebagai tujuan backpacker.

"Semoga keputusan itu membawa pesan, bahwa apabila para politisi keliru, pengadilan akhirnya akan meluruskannya," katanya.

Germano punya pesan kepada para calon backpacker dari negara lain:

"Datanglah ke Australia untuk memetik buah. Setidaknya para petani di sini akan terus membela Anda".

Menurut dia, akibat adanya pajak backpacker sejak beberapa tahun terakhir, jumlah backpacker yang datang ke Australia semakin menurun, meski kini mulai membaik kembali setelah adanya sejumlah perubahan pada kondisi visa WHV.

 

Seorang petani nanas di Negara Bagian Queensland, Chris Fullerton, menjelaskan selama musim panen, lebih dari 90 persen tenaga kerja kasual di pertaniannya diisi para backpacker.

Dia mengungkapkan para pekerjanya mengeluhkan adanya pajak yang mereka anggap tidak adil tersebut.

"Mereka tidak mengerti mengapa mereka bekerja bersama dengan orang Australia, namun dikenakan pajak berbeda," katanya.

Kalangan petani di Victoria sebelumnya telah mengeluhkan adanya kekurangan tenaga pemetik saat panen, terutama untuk komoditas buah.

Hal yang sama terjadi pula di Tasmania, sehingga petani buah terpaksa membiarkan ratusan ton panen mereka membusuk karena tidak cukup tenaga pemetik.

Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement