REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut bom bunuh diri di Polrestabes Medan sebagai ancaman radikalisme. Menurutnya, tingkatan radikalisme antara lain menganggap orang lain musuh, melakukan pengeboman/teror, dan adu wacana ideologi
"Iya, Iya. Radikal itu kan ada tingkatan. Pertama menanggap orang lain musuh, kedua melakukan pengeboman teror, lalu ketiga adu wacana tentang ideologi. Ini sekarang sudah masuk yang kedua, yakni teror. Jihadis namanya kalau dalam bahasa yang populer," ujar Mahfud di Sentul International Convention Center, Rabu (13/11).
Ia mengaku telah berdiskusi dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian terkait tindakan bom bunuh diri tersebut. Kejadian ini menjadi pintu masuk untuk mencari jaringan teroris yang ada di Medan.
"Kita juga di Medan jaringannya harus dicari. Bukan hanya satu korban dan mencari yang satu itu. Dan itu tugas negara untuk hadir di situ," kata dia.
Menurut Mahfud, langkah itu juga menjadi bagian dari pencegahan aksi tindakan terorisme. Ia mengklaim, pemerintah berhasil menekan angka kejadian terorisme karena negara memiliki intelijen informasi dan penindakan hukum yang kuat atas aksi tersebut.
Jika negara tidak menegakkan hukum, jelas Mahfud, maka kemungkinan banyak peristiwa terorisme terjadi. Ia mengungkapkan, berdasarkan konferensi internasional di Australia, dari sisi kuantitatif jumlah teror menurun dibandingkan tahun 2017 dan 2018.
"Karena pencegahan sudah lebih baik. Bahwa ada satu dua, itu ya tak bisa dihindari. Tapi pencegahan itu cukup berhasil menunjukan angka kuantitatifnya turun dibanding 2017 dan 2018," jelas dia.
Namun, Mahfud enggan dikatakan pemerintah kecolongan atas ledakan bom bunuh diri di Medan. Sebab, teroris memang selalu mencuri celah. "Enggak lah (kecolongan). Memang teroris itu selalu nyolong. Ya enggak apa-apa. Istilah kecolongan lalu dipolitisir lagi. Pokoknya ditindak," imbuh Mahfud.