REPUBLIKA.CO.ID,
Aksi unjuk rasa di Jakarta yang bermula pada 24 September 2019 lalu tak sedikit memakan korban. Beberapa di antaranya tak kembali ke keluarga mereka dalam keadaan hidup. Wartawan Republika, Ali Yusuf, menelusuri kisah sepasang sahabat yang terjebak dalam kekisruhan tersebut pada pertengahan Oktober lalu. Berikut tulisan bagian keempat.
Suasana di dalam rumah kontrakan di Gang Haji Abdullah, Kampung Baru, Sukabumi Selatan, Jakarta Barat, itu seperti biasanya pada Kamis (26/9) lalu. Febrianti (14 tahun) dan Maulana Aditiya alias Boim (10) tengah membolak-balik buku pelajaran sekolah. Abang mereka, Maulana Rizky (18), sibuk menyetel bunyi gitar akustiknya.
Ibunda mereka, Maspupah alias Eva, sendirian menikmati makan malam. Mengisi perut setelah seharian menjaga parkiran di kompleks pertokoan ruko Blok F, Tanah Abang. Di ruangan 4 X 4 meter itu mereka berkumpul. Minus anak paling tua, Maulana Suryadi (24), yang belum pulang sejak Rabu (25/9) malam.
Maspupah berulang kali memeriksa telepon genggam Yadi, sapaan akrab Maulana Suryadi, yang tertinggal di rumah. Siapa tahu ada kabar soal keberadaan anaknya yang sudah hampir 24 jam tak jelas di mana berada itu. Ketiadaan putra sulungnya malam itu membuat Maspupah tak enak menelan makanan. Suap-demi suap dengan berat hati ia masukkan ke mulut.
Di tengah-tengah menyelesaikan makan malamnya itu, telepon genggam model lama miliknya bergetar dan mengeluarkan bunyi nyaring. Maspupah langsung menekan tombol merespons panggilan masuk.
“Pah!” kencang suara di ujung telepon, seperti dituturkan Maspupah kepada Republika, pertengahan bulan lalu. Ia kenal suara di seberang milik itu ibundanya. “Iya, Mah, ada apa?” jawab Maspupah singkat. “Ini ada polisi delapan orang. Bikin malu orang tua aja sampai ada polisi datang ke rumah,” kata sang ibu kepada Maspupah.
Maspupah mencoba menenangkan ibunya yang marah dan cemas itu. Maspupah bertanya kembali, mempertegas ada maksud dan tujuan apa polisi sebanyak itu datang kerumah ibunya di derah Tanah Rendah, Tanah Abang, Jakarta Pusat. “Dia (polisi) ngabarin Maulana Rizky meninggal, sekarang di RS Polri,” katanya.
Maspupah sempat tak percaya. Pasalnya, yang disebut itu tak jauh dari Maspupah sedang memainkan gitar. Ia kemudian gemetar dan lemas seketika saat menyadari bahwa ibunya salah menyebut. Yang ia maksudkan Maulana Suryadi. “Rizky ada di sini, Mah.Yadi, kali?” kata Maspupah.
Tiba-tiba suara di ujung telepon berubah, seorang lelaki mengambil alih telepon dan menyampaikan berita yang sama. Maspupah mengingat, pria itu mengaku dari Polda Metro Jaya dan meminta alamat lengkap Maspupah. “Posisi Ibu di mana? Bisa saya ke rumah?” tanya polisi di ujung telpon. “Boleh, silakan,” jawab Maspupah.
Kepada putra-putranya, Maspupah hanya menyampaikan bakal ada polisi datang ke rumah sebentar lagi. “Kalian siap-siap aja,” ujar Maspupah.
Tak berapa lama kemudian, kurang lebih sekitar pukul 22.00 WIB, delapan polisi sudah di rumah Maspupah. Tetangga di sekitar kontrakan keluar melihat banyak polisi tanpa seragam mengerumuni Maspupah.
"Bu, sabar, ya, Bu. Maulana Suryadi sudah enggak ada,” kata salah satu di antara polisi yang datang. Ia menyampaikan, Maulana Suryadi meninggal dunia karena ikut berunjuk rasa. Jasadnya di RS Polri Kramat Jati.
Mendengar kabar tersebut, Maspupah tak bisa berkata-kata. Bibirnya bergetar. Dadanya sesak, ia ingin berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Namun, Maspupah berusaha mengendalikan diri.
Setelah menyampaikan kabar duka, salah satu dari delapan anggota itu bertanya, apakah sebelumnya Maulana Suryadi pernah punya riwayat penyakit asma. “Saya jawab jujur, punya,” kata Maspupah.
Selesai membahas masalah riwayat penyakit yang diderita Yadi, para polisi mengajak Maspupah menengok jenazah putranya. Seluruh yang di rumah itu ikut masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di ujung gang.
Demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI. (Ilustrasi)
Di tengah perjalanan, para petugas sempat berhenti dan mampir makan di sebuah restoran sea food di daerah Blok M. Febrianti dan Maulana Rizky protes. “Kok sempat-sempatnya abang gue meninggal mereka makan-makan. Gue curiga ada apa-apanya nih,” kata Maulana Rizky kepada Republika mengenang saat itu.
Salah satu anggota polisi berambut gondrong sempat menghampiri meja yang ditempati keluarga Maspupah untuk mengajak gabung makan bersama. “Terima kasih, sudah kenyang. Saya hanya ingin sempat sampai ketemu anak saya,” kata Maspupah.
Selesai makan, para polisi kembali ke dalam kendaraan. Keluarga Maspupah mengikuti dan akhirnya sampailah mereka di RS Polri. Jam berapa sampai di RS Polri, Maspupah mengaku tak ingat. “Enggak merhatiin jam,” katanya.
Di RS Polri, sejumlah petugas polisi menyambut Maspupah, kemudian membimbingnya menuju jenazah sang anak. “Saya lihatnya sampai menangis lemas. Ya Allah, kok anak saya Yadi sampai kayak gini. Pamit dari rumah, sehat. Saat dilihat rahang kanan-kirinya, bengkak, biru, udah gitu kok kupingnya berdarah,” ujar dia.
Kondisi Maulana Suryadi yang penuh luka memar di bagian wajahnya membuat Maspupah sempat tak yakin kalau jasad yang diperlihatkannya itu adalah Yadi. Namun, Febrianti dan Rizky memastikan bahwa yang di depan mereka memang jenazah abang mereka.
Maspupah sempat bertanya kepada petugas polisi perihal darah yang mengucur dari telinga Yadi. Ia mengingat, sang polisi menjawab bahwa darah yang keluar dari telinga kemungkinan karena efek dari penyakit asma dan gas air mata.
“Kata polisi, ‘Saya ngeliat anak ibu terkapar di jalan diinjek-injek sama orang,’ terus sama polisinya diambil. Begitu ngomongnya ke Ibu,” kata Febrianti.
Febrianti mengatakan, mendengar jawaban itu, Maspupah percaya. Polisi yang sedari tadi menemani mereka sempat menawarkan visum dan autopsi. Namun, setelah diperlihatkan gambar proses autopsi, Maspupah menolak dan meminta Yadi segera dibawa pulang saja.
Sebelum dibawa pulang, menurut Febrianti, seorang anggota polisi meminta Maspupah membuat surat pernyataan. Febrianti yang menulis surat pernyataan yang didiktekan kata-katanya oleh sang polisi.
“Surat pernyataan didiktein ama polisinya ditulis tangan. Isinya tidak mau diautopsi, tidak mau divisum, terus dijelasin kematiannya karena asma kena gas air mata, terus tanda tangan. Saya yang nulis suratnya,” kata Febrianti.
Maspupah menerangkan, selesai menandatangai surat keterangan, dia diajak masuk ke salah ruangan di rumah sakit. Di tempat itu Maspupah diberi amplop yang isinya diketahui belakangan berjumlah Rp 10 juta.
“Apa ini, Pak? Dia bilang, ‘Turut berduka, ya, Bu. Ini buat biaya pemakaman anak Ibu,’” kata Maspupah menirukan anggota polisi yang memberikan amplop cokelat. “Saya bilang terima kasih,” katanya. n ed: fitriyan zamzami