REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG – Aksi unjuk rasa di Hong Kong yang dimulai sekitar enam bulan lalu belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Sepanjang Ahad (17/11) hingga Senin (18/11), para pengunjuk rasa yang terkepung di Polytechnic University Hong Kong terlibat saling serang dengan aparat kepolisian.
Antara 500 hingga 1.000 pengunjuk rasa menguasai kampus tersebut sejak Ahad (17/11). Mereka mempersenjatai diri dengan bom molotov, panah, serta ketapel. Sementara, dari luar, aparat kepolisian terus menembakkan gas air mata ke dalam wilayah kampus.
Bentrokan kemarin adalah yang paling brutal sejak aksi unjuk rasa dimulai di Hong Kong sejak 9 Juni lalu. Saat itu, ratusan ribu orang turun ke jalan memprotes Rancangan Undang-Undang Ekstradisi yang membolehkan terdakwa pidana di Hong Kong dipindahkan dan diadili di Cina daratan.
Langkah tersebut dinilai sebagai upaya menguatkan cengkeraman Beijing atas Hong Kong yang selama ini menjalankan sistem demokratis, berbeda dengan sistem pemerintahan di Cina daratan. Meski rancangan regulasi tersebut sudah dicabut sejak beberapa bulan lalu, aksi unjuk rasa belum berakhir.
Para pengunjuk rasa menuntut pertanggungjawaban atas perlakuan brutal aparat polisi dalam aksi-aksi sebelumnya. Gelombang aksi terkini dipicu penembakan terhadap seorang pengunjuk rasa oleh aparat sepekan lalu yang rekaman videonya beredar di internet. Meski tak menewaskan pengunjuk rasa tersebut, penembakan itu dinilai jadi bukti kebrutalan aparat dalam menangani pengunjuk rasa.
Bentrokan di Polytechnic University kemarin diwarnai juga dengan pembakaran di bagian depan kampus agar polisi tak masuk. Pada pagi hari, sejumlah mahasiswa berusaha keluar, tetapi mereka terhalang gas air mata dan peluru karet aparat. Sebagian yang berhasil keluar juga langsung ditangkap.
"Awalnya saya merasa sangat takut dan panik tetap di sini karena polisi mengatakan kita semua di dalam universitas akan ditangkap karena tuduhan kerusuhan dan kita akan dihukum selama 10 tahun atau lebih," ujar salah satu mahasiswa, dikutip dari BBC.
Pada Ahad malam, kepolisian memperingatkan, mereka bisa menggunakan amunisi. "Saya dengan ini memperingatkan para perusuh untuk tidak menggunakan bom bensin, panah, mobil, atau senjata mematikan apa pun untuk menyerang petugas polisi," kata juru bicara kepolisian Louis Lau.
Petugas kepolisian sebelumnya mengatakan, pemrotes dapat meninggalkan kampus melalui Jembatan Selatan Jalan Cheong Wan. Namun, polisi mendesak mereka untuk menjatuhkan senjata dan melepaskan topeng gas.
Legislator prodemokrasi Ted Hui yang berada di dalam kampus mengatakan, jembatan sudah ditutup dan tidak mungkin untuk pergi dengan cara yang diajukan. Hui mengatakan, sekitar 1.000 orang masih tinggal di kampus. Banyak orang yang tertahan di kampus terluka dan terputus dari layanan medis.
Mahasiswa pendemo berjalan di antara puing-puing terbakar di Kampus the Hong Kong Polytechnic University (AP Photo/Ng Han Guan).
Penjabat Presiden Serikat Mahasiswa PolyU Ken Woo mengatakan kepada penyiar RTHK, setidaknya 500 orang tetap berada di dalam kampus. Persediaan air tawar masih tersedia, tetapi persediaan makanan hampir habis. Demonstran telah tinggal di tempat tersebut selama berhari-hari karena protes keras Hong Kong terus meningkat.
Sebelumnya, Kepala universitas Profesor Jin-Guang Teng telah mengatur kesepakatan dengan polisi. Jika pengunjuk rasa pergi dengan damai, dia akan secara pribadi menemani ke kantor polisi untuk memastikan kasus diproses secara adil.
Otoritas Rumah Sakit Kota mencatat, 24 orang berusia antara 16-84 terluka dengan empat orang dalam kondisi serius di seluruh Hong Kong pada Senin (18/11). Sekitar 13 orang terluka, berusia antara 22 hingga 57 tahun, dengan satu dalam kondisi serius. Belum ada data resmi jumlah korban kekerasan dari pengepungan di kampus.
Pada Senin sore, kepolisian menyatakan telah menangkap sebanyak 4.491 orang terkait aksi unjuk rasa sejak 9 Juni lalu. Jumlah itu hampir menyamai kesuruhan pada 1967 saat warga Hong Kong menolak Revolusi Budaya yang dikampanyekan Partai Komunis Cina di Beijing.
Sementara itu, sikap Beijing yang tergambar melalui editorial dan opini di dua media Partai Komunis Cina, Harian Rakyat dan Global Times, juga kian keras. Opini yang dilansir di halaman depan koran Harian Rakyat kemarin menegaskan bahwa tak ada kompromi terhadap para pengunjuk rasa “antipemerintahan” di Hong Kong.
Koran yang merupakan corong Partai Komunis Cina itu menekankan, yang terjadi di Hong Kong adalah perang mempertahankan “Satu Negara Dua Sistem” melawan kehancurannya. “Terkait persoalan yang melibatkan kedaulatan nasional dan masa depan Hong Kong ini, tak ada jalan tengah dan sama sekali tak ada ruang untuk kompromi,” tulis koran tersebut.
Pemimpin redaksi Global Times, Hu Xijin, mengatakan, polisi Hong Kong seharusnya menggunakan penembak jitu dengan peluru tajam untuk mengatasi pengunjuk rasa. "Jika pengunjuk rasa terbunuh, polisi harusnya tidak dimintai pertanggungjawaban hukum," kata Hu di media sosial Weibo, Senin (18/11). Hu juga melontarkan pernyataan yang sama di Twitter walaupun media sosial itu tidak dapat diakses dari Cina.
Isyarat dari dua media corong Partai Komunis Cina itu membunyikan sinyal kewaspadaan di Hong Kong karena saat ini sejumlah prajurit dari Cina telah diterjunkan ke wilayah tersebut. Mereka sejauh ini diterjunkan membersihkan penghalang jalan yang dipasang para pengunjuk rasa untuk mematikan lalu lintas di Hong Kong. n dwina agustin/lintar satria/ap ed: fitriyan zamzami