Kamis 21 Nov 2019 14:26 WIB

Apa Pun Caranya, Jangan Rusak Pilkada dengan Politik Uang

Demokrasi baik asal tak dirusak politik uang.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Hafil
Pilkada (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, mengatakan, apapun pilihan cara pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang terpenting adalah jangan sampai merusak demokrasi. Semua pilihan menurutnya baik asalkan tidak diwarnai dengan politik uang.

"Tentu yang harus kita antisipasi apapun pilihannya, jangan sampai merusak demokrasi. Pilkada yang merusak demokrasi itu kan yang marak dengan money politik," ungkap Denny di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (21/11).

Baca Juga

Ia menuturkan, hal itulah yang perlu ditekankan ke depan. Menurutnya, potensi politik uang selalu ada, baik Pilkada dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pembentuk undang-undang (UU) harus mencari jalan keluar agar persoalan tersebut dapat teratasi atau diminimalisasikan.

"Bagaimanakah kita meminimalkan dan ke mana arahnya ya kita serahkan ke pembuat UU. Karena keduanya kan sebenarnya baik lansung dan tidak langsung itu konstitusional," katanya.

Dia melihat ada harapan besar ke depan akan berlanjutnya Pilkada langsung. Tapi, perlu ada perbaikan dalam prosesnya, terutama dari sisi pembiayaan agar tidak memakan dana besar dan terkait praktik politik yang koruptif.

"Tetapi dengan perbaikan-perbaikan utamanya dari sisi tidak terlalu mahal, kemungkinan praktik politik yang koruptif itu harus disikapi dengan perbaikan serius dan mendasar," jelas dia.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengaku menjadi salah satu pihak yang meminta agar pilkada secara langsung untuk dievaluasi. Namun, ia menegaskan bahwa evaluasi bukan berarti kepala daerah dipilih oleh DPRD.

"Ini (evaluasi pilkada) saya sendiri pernah menyampaikan, tapi tidak pernah menyampaikan untuk tidak pernah kembali kepada DPRD, ini saya klarifikasi," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).

Ia menjelaskan, pilkada langsung memang meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memilih kepala daerah secara langsung. Namun, dalam proses penyelenggaraannya terdapat sejumlah dampak negatif.

Menurutnya, pilkada langsung bepengaruh kepada biaya tinggi dan rentan terjadinya korupsi. Selain itu, pilkada langsunh juga dapat menghasilkan ketegangan politik di sejumlah wilayah.

Salah satunya yang terjadi pada Pilkada Papua. Di mana berdasarkan pengalamannya, konflik yang terjadi antar suku menyebabkan pemilihan kepala daerah sempat tertunda cukup lama.

"Praktiknya setelah lebih dari sekian belas tahun, kita juga melihat ada dampak negatifnya. Ada potensi konfliknya, itu jelas. Saya sendiri sebagai mantan Kapolri, mantan Kapolda," ujar Tito.

Mantan Kapolri itu juga menyinggung soal pilkada langsung yang menyebabkan calon kepala daerah mengeluarkan biaya politik yang tinggi. Oleh karena itu, evaluasi diharapkan melewati proses kajian yang mendalam, agar pelaksanaannya nanti tak menimbulkan polemik.

"Sehingga usulan yang saya sampaikan adalah, bukan untuk kembali ke A atau ke B, tetapi adakan evaluasi. Tapi evaluasi bukan suatu yang haram menurut pendapat saya," ujar Tito.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement