REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pendukung demokrasi mendapatkan suara yang besar dengan mudah. Mereka memperoleh lebih dari setengah dari jumlah 452 kursi untuk posisi dewan distrik, Ahad (25/11).
Sejak pukul 06.00, para kandidat pro-demokrasi telah memperoleh kursi mayoritas dengan lebih dari 300 dari 452 kursi sedangkan kubu lawan baru menempatkan 41 kursi. Kemenangan ini sangat besar ketika dibandingkan empat tahun lalu saat pro-demokrasi hanya mendapatkan sekitar 100 kursi.
Kota yang berpenduduk 7,4 juta orang ini untuk pertama kalinya memenangkan kursi mayoritas untuk pendukung demokrasi. Mereka berhasil melawan oposisi pro-China yang sangat memiliki sumberdaya dan dimobilisasi.
Dengan hasil tersebut, beberapa pusat pemilihan meledak dengan sorak-sorai keras dan nyanyian 'Liberate Hong Kong. Revolution Now'. Semboyan itu banyak digunakan oleh demonstran di jalanan selama setengah tahun terakhir.
Beberapa kandidat yang menang mengatakan hasilnya mirip dengan suara dukungan untuk para demonstran. Hasil ini dapat mendorong keputusan Kepala Eksekutif pro-Beijing Hong Kong Carrie Lam di tengah krisis politik paling buruk di kota dalam beberapa dekade.
"Ini adalah kekuatan demokrasi. Ini adalah tsunami yang demokratis," kata mantan pemimpin protes mahasiswa yang memenangkan kursi di distrik Yuen Long dekat perbatasan China, Tommy Cheung.
Dilansir Reuters, hampir tiga juta orang memilih dalam pemilihan dewan distrik Hong Kong pada Ahad (24/11). Jumlah pemilih lebih dari 71 persen atau hampir dua kali lipat dari jumlah pemilihan terakhir kali.
Dewan distrik Hong Kong mengendalikan sejumlah pengeluaran dan memutuskan sejumlah masalah mata pencaharian lokal seperti transportasi. Mereka juga berfungsi sebagai wadah akar rumput yang penting untuk menentukan pengaruh politik di kota yang dikuasai China.
Selama lebih dari lima bulan, Hong Kong telah bergelut dengan demonstrasi yang berujung pada kekerasan. Awal unjuk rasa mendorong pembatalan rencana undang-undang ekstradiksi yang dapat membuat seorang diadili di daratan China.
Setelah rancangan itu dibatalkan, tuntutan meluas karena terjadi kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap demonstran. Tuntutan pun menjadi dorongan demokrasi dan membuat ancaman terbesar bagi Presiden China Xi Jinping sejak berkuasa pada 2012.
Demonstran marah dengan campur tangan China atas kebebasan yang telah dijanjikan pada bekas koloni Inggris ini. China membantah ikut campur dan berkomitmen terhadap formula "satu negara, dua sistem" untuk otonomi Hong Kong.