REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Harry Jogaswara, mengemukakan strategi untuk mencegah konflik terkait pemindahan ibu kota negara dari Jakartake KalimantanTimur, termasuk di antaranya mendorong pembentukan forum lintas etnis dan agama.
"Mesti ada forum yang sifatnya lintas etnik agama, tapi yang organik," katanya dalam Seminar Nasional Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara dan Implikasinya terhadap Kehidupan Sosial Penduduk di KantorLIPI Jakarta, Kamis (28/11).
"Artinya dibentuk dari masyarakat itu sendiri. Tidak karena bentukan," kata Harry, menambahkan, pemerintah hanya perlu memfasilitasi pembentukan forum, antara lain dengan menyediakan pendanaan.
Dia mengatakan, orang-orang yang kredibel dan dipercaya sebagian besar anggota masyarakat mesti dilibatkan dalam forum lintas etnis dan agama tersebut.
Pemerintah daerah di lokasi ibu kota negara yang baru, menurut dia, juga mesti cepat mengidentifikasi dan meredam benih-benih konflik yang muncul.
Harry mengatakan, potensi konflik dapat muncul dari masuknya pendatang ke daerah calon ibu kota baru, termasuk aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja untuk pemerintah pusat.
"Gelombang pertama kan ASN. ASN itu kelompok menengah. Kelompok menengah itu intelektual, jaringannya lebih kuat dan sebagainya. "Mereka juga membawa identitas dan agamanya," kata dia.
Dia juga memperkirakan pemindahan ibu kota negara akan memicu perpindahan spontan orang-orang ke daerah calon ibu kota baru yang dianggap menawarkankesempatan-kesempatan baru. Mereka juga membawa identitas dan agama masing-masing. Kedatangan orang-orang dengan berbagai latar belakang etnis dan agama tersebut berpotensi menimbulkan konflik.
Berdasarkan konflik-konflik yang pernah terjadi di daerah lain, Harry mengatakan,pemetaan tentang kelompok-kelompok yang cenderung menguasai atau mengklaim satu wilayah tertentu perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik terkait pemindahan ibu kota negara.
Dia juga mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah tidak menciptakan satu situasi atau sistem yang dapat memicu konflik.
"Jadi pemerintah sendiri nanti jangan menciptakan satu situasi atau sistem di mana misal pemilihan pejabat atau apa karena etnis atau agam tertentu. Tetapi lebih karena merit system," katanya.