REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi memandang Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang majelis taklim sebagai upaya yang berlebihan untuk mengatasi radikalisme. Dia meyakini tidak ada majelis taklim yang terindikasi radikal.
"Saya yakin tidak ada majelis taklim yang terindikasi radikalisme atau terindikasi sesuatu yang bertentangan dengan negara," kata Hamid kepada Republika.co.id, Rabu (4/12).
Ia mengatakan, justru orang yang tidak ikut majelis taklim yang membahayakan negara. Karena akan berafiliasi dengan paham-paham yang akan merusak agama, nasionalisme atau merusak tatanan sosial yang selama ini sudah kondusif.
Menurutnya, kalau tujuan Kementerian Agama (Kemenag) membuat PMA Nomor 29 Tahun 2019 hanya untuk mengantisipasi agar tidak ada materi radikal di majelis taklim, itu berlebihan. Tidak mungkin orang-orang di kampung yang suka mendengar tausiyah di majelis taklim diberi materi ekstrem untuk menentang negara. "Ini menurut saya kecurigaan yang terlalu berlebihan," ujarnya.
Wakil Rektor Unida Gontor ini mengatakan, PMA tentang majelis taklim berlebihan karena persoalan pendidikan informal adalah masalah yang tidak diatur oleh pemerintah. Selama ini pemerintah hanya mengatur pendidikan formal tapi kenapa tiba-tiba pemerintah mengatur pendidikan informal.
Menurutnya, kalau pemerintah ingin menanggulangi radikalisme, maka yang diatur bukan hanya majelis taklim. Semua komunitas dan kelompok-kelompok masyarakat lain juga harus diatur oleh pemerintah. Tidak adil kalau pemerintah hanya mengatur majelis taklim.
Tapi, dia menyampaikan, umat Islam tidak bisa menolak adanya PMA tentang majelis taklim karena itu kehendak penguasa. "Kita terima saja, tidak usah dilawan dan biarkan saja, majelis taklim yang selama ini sudah berjalan, berjalan saja," ujarnya.