Senin 09 Dec 2019 11:01 WIB

Aksi Massa di Hong Kong yang tak Kunjung Padam

Enam bulan telah berlalu sejak aksi massa besar pertama di Hong Kong.

Rep: Lintar Satria/Dwina Agustin/ Red: Indira Rezkisari
Polisi berjaga di depan halte bus di Hong Kong, Senin (9/12) pagi. Kemarin ratusan ribu orang menduduki jalanan Hong Kong sebagai bentuk dukungan pergerakan anti-pemerintah yang sudah berjalan enam bulan.
Foto: AP
Polisi berjaga di depan halte bus di Hong Kong, Senin (9/12) pagi. Kemarin ratusan ribu orang menduduki jalanan Hong Kong sebagai bentuk dukungan pergerakan anti-pemerintah yang sudah berjalan enam bulan.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Hong Kong agaknya belum mau berhenti melakukan aksi protes. Memasuki bulan keenam rencana aksi massa di Hong Kong masih akan terjadi. Bahkan skalanya bisa jadi lebih besar dari sebelumnya.

Tapi hari ini, Senin (9/12), warga Hong Kong masih terdiam di rumah. Sebagian memilih mengabaikan panggilan untuk berangkat ke aksi massa perayaan enam bulan aksi anti-pemerintahan itu.

Baca Juga

Belum ada kesibukan di jalanan kota oleh aksi massa. Baru hanya ada tiga insiden minor, padahal kemarin, Ahad (8/12), diperkirakan 800 ribu orang menduduki jalanan untuk melakukan aksi damai. Hari ini masyarakat Hong Kong masih bisa berangkat kerja dengan normal, seperti dikutip dari South China Morning Post.

Polisi telah memberi lampu hijau kepada kelompok sipil Civil Human Rights Front (CHRF). Kelompok tersebut mengorganisir unjuk rasa damai pada Juni lalu. Ini pertama kalinya CHRF mendapat izin untuk berunjuk rasa sejak 18 Agustus lalu.

Pada Ahad (8/12) pengunjuk rasa berangkat dari Victoria Park, pusat perbelanjaan sampai jantung Hong Kong di Charter Road. Rute yang kerap digunakan pengunjuk rasa di bekas koloni Inggris itu.

Unjuk rasa meletus sejak Juni lalu untuk memprotes rancangan undang-undang ekstradiksi yang membuat tersangka di Hong Kong diadili di China. Tapi tuntutan unjuk rasa meluas hingga demokrasi yang lebih besar lagi.

Pada Sabtu (7/12) pemerintah Hong Kong mengatakan 'telah belajar dari pelajaran sebelumnya dan akan mendengarkan dan menerima kritikan'. Kepala komisioner kepolisian yang baru, Chris Tang, mengatakan pasukannya akan menggunakan pendekatan yang fleksibel untuk menghadapi pengunjuk rasa.

Tang mengatakan akan menggunakan 'pendekatan keras dan lembut' dalam menghadapi demonstrasi. Lebih dari 900 orang ditangkap sejak Hong Kong diguncang unjuk rasa pada Juni lalu.

photo
Foto udara menunjukkan ribuan demonstran masih memenuhi jalanan di Hong Kong, Ahad (8/12). Enam bulan berlalu, pemrotes tak berniat mengakhiri aksi mereka.

Unjuk rasa di daerah otonom China ini kerap berubah menjadi kerusuhan. Bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi membuat petugas keamanan melepaskan gas air mata dan peluru karet.

Pengunjuk rasa membakar kendaraan dan gedung-gedung. Mereka melempari kantor polisi dengan bom molotov. Demonstran juga merusak stasiun-stasiun kereta, menjatuhkan puing-puing dari jembatan ke jalanan yang ada di bawahnya, dan merusak mal-mal serta kampus-kampus.

Kerusuhan-kerusuhan itu menaikkan pertanyaan bagaimana dan kapan gejolak akan berhenti. Pengunjuk rasa marah dengan apa yang mereka sebut sebagai campur tangan China dalam kebebasan yang dijanjikan terhadap Hong Kong saat diserahkan kembali oleh Inggris pada 1997.

China membantah mengintervensi urusan internal Hong Kong. Beijing menyalahkan negara-negara asing seperti Inggris dan Amerika Serikat sebagai dalang kerusuhan di Hong Kong.

Aksi protes terkadang brutal di Hong Kong. Unjuk rasa dipicu oleh RUU yang memungkinkan ekstradisi ke daratan China. RUU itu pun akhirnya dibatalkan.

Tang menyebutkan polisi akan melakukan pendekatan humanistis terhadap insiden kecil, namun memperingatkan tindakan keras terhadap aksi yang lebih brutal. Ia juga berharap aksi protes akan berjalan damai.

Tang menempati posisinya sekarang mulai November. Menurut pernyataan singkat Kepolisian Hong Kong pada Kamis, ia berada di Beijing untuk kunjungan resmi pertemuan dengan para pejabat daratan China.

Kisruh Hong Kong telah menjadi perhatian dunia. Bahkan Amerika di bawah kepemimpinan Donald Trump mendukung tuntutan pengunjuk rasa Hong Kong mempertahankan otonomi dari China. Pengunjuk rasa menamakan acara malam itu sebagai 'Thanksgiving Day'.

Perayaan tersebut sebagai ucapan terima kasih kepada AS telah meloloskan undang-undang dan berjanji mendukung perjuangan mereka. Trump menandatangani undang-undang baru yang mendukung pengunjuk rasa di Hong Kong.

Penandatanganan ini dilakukan saat Trump sedang bernegosiasi untuk mengakhiri perang dagang dengan China. "Saya menandatangani undang-undang ini dengan rasa hormat kepada Presiden Xi (Jinping), China, dan rakyat Hong Kong," kata Trump.

Undang-undang itu disetujui oleh Senat dan semua kecuali satu anggota House of Representative pekan lalu. Undang-undang ini mengharuskan Departemen Luar Negeri setiap tahun memastikan hong Kong mempertahankan otonomi mereka.

photo
Peserta aksi Hong Kong menyalakan senter dari smartphone mereka saat berkumpul di jalanan Hong Kong, Ahad (8/12). Enam bulan berlalu, aksi demonstrasi Hong Kong masih berlangsung.

Selama Hong Kong mempertahankan otonomi mereka, AS membantu posisi mereka sebagai pusat keuangan dunia. Undang-undang itu juga memberi ancaman terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

Sementara itu, undang-undang Hong Kong dapat merusak perundingan yang bertujuan mengakhiri perang dagang AS-China. Wakil Menteri Luar Negeri China Le Yucheng memberitahu Duta Besar AS Terry Branstad langkah itu melanggar kedaulatan China.

"Dan pelanggaran serius dalam hukum internasional," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri China.

Le menyebut langkah itu sebagai tindakan hegemoni terang-terangan. Dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri China, Le mendesak AS tidak mengimplementasikan undang-undang itu untuk mencegah semakin memburuknya hubungan AS-China.

China memperingatkan AS akan memikul konsekuensi dari tindakan balasan ketika terus bertindak sewenang-wenang dalam urusan Hong Kong. Beijing mengancam upaya yang diusahakan oleh AS pun ditakdirkan gagal.

Langkah pembalasan dilakukan China atas tindakan AS yang dinilai mendukung unjuk rasa Hong Kong. Laman Washington Post menyebutkan, China menjatuhkan sanksi kepada sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkantor pusat di AS karena dinilai bertindak buruk semasa unjuk rasa Hong Kong.

LSM tersebut meliputi Human Right Watch, National Endowment for Democracy, dan Freedom House. Sementara itu, Voice of America melaporkan, Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China, tidak memerinci tentang sanksi atau sejauh mana kegiatan LSM tersebut di Hong Kong akan terpengaruh.

China menyatakan telah menangguhkan pengajuan bagi kapal perang AS untuk berlabuh di Hong Kong. "China mendesak AS mengoreksi kesalahan mereka, menghentikan sikap dan tindakan mencampuri urusan Hong Kong dan dalam negeri China," kata Hua.

sumber : AP/Reuters/Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement