REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai, perlu adanya kesamaan pandangan dalam mekanisme penetapan, penghargaan, dan perlindungan terhadap saksi pelaku atau justice collaborator dari seluruh aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi. LPSK mengharapkan adanya peraturan presiden terkait hal ini.
"Kami rasa perlu ada kesamaan pandangan dalam mekanisme penetapan, penghargaan, dan perlindungan terhadap saksi pelaku dari seluruh aparat penegak hukum," kata Wakil Ketua LPSK Achmadi di Kantor LPSK, Jakarta, Senin (9/12).
Oleh karena itu, kata dia, perlunya sebuah regulasi seperti berupa peraturan presiden (perpres) sebagai upaya penyamaan pandangan terhadap saksi pelaku. Selain menyamakan persepsi dan pandangan, untuk menguatkan peran saksi pelaku, LPSK juga mengimbau kepada seluruh aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, KPK, dan lembaga lainnya untuk dapat mengoptimalkan peran saksi pelaku dalam pengungkapan perkara tindak pidana korupsi.
"Kami juga mengajak partisipasi yang besar dari individu atau semua pihak untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi. LPSK mendorong masyarakat untuk tidak takut bersaksi dalam membongkar kasus kejahatan korupsi yang diketahuinya," ucapnya.
Dalam sudut saksi pelaku yang ingin membongkar kasus korupsi, LPSK juga memandang pentingnya peran advokat atau pengacara yang memegang idealisme tinggi untuk melakukan pendampingan hukum kepada saksi pelaku dalam sebuah perkara korupsi.
"Bila perlu dibentuk semacam Lembaga Bantuan Hukum khusus untuk mendampingi calon saksi pelaku agar dapat membongkar sebuah kasus tindak pidana korupsi yang tersebut," katanya.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, hadirnya UU No 31 Tahun 2014 menjadi peneguhan subjek baru yakni saksi pelaku dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Artinya, semua institusi yang terlibat dalam bekerjanya sistem peradilan pidana menjadi terikat dan wajib melaksanakan norma-norma yang diatur dalam UU tersebut.
Dengan demikian, kata dia, muatan pengaturan mengenai saksi pelaku yang ada pada aturan lain seperti dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011, Peraturan Bersama Tahun 2011 dan PP No 99 Tahun 2012 yang mengatur mengenai Saksi Pelaku yang bekerja sama tidak relevan untuk diterapkan karena aturan tersebut telah diatur dalam UU No 31 Tahun 2014. Dalam hal rumusan yang belum diatur dalam UU atau peraturan pelaksanaan maka masih bisa dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan UU No 31 Tahun 2014.
Terkait pemberian penghargaan kepada saksi pelaku, kata Edwin, dalam UU No 31 Tahun 2014 Pasal 10 A ayat (4) dan (5) secara tegas menyebutkan bahwa untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan pidana, hanya LPSK yang diberikan kewenangan oleh UU untuk memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam surat tuntutan kepada hakim, dan UU meminta kepada hakim agar memperhatikan rekomendasi dari LPSK.
"Begitu pun perihal mendapatkan pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lainnya, LPSK diberi kewenangan sesuai UU yang berlaku untuk memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan HAM," ujarnya.