REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta sejumlah pegiat antikorupsi yang mengajukan uji formil terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019, tidak ingin perkaranya disidang berbarengan dengan perkara lain yang juga menggugat revisi UU KPK tersebut.
Dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (9/12), Hakim Konstitusi Arief Hidayat menawarkan sidang selanjutnya perkara tersebut akan digabung bersama perkara lain yang lebih dahulu diajukan pihak lain. Setidaknya terdapat tujuh perkara uji formil mau pun materiil terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 yang ditangani Mahkamah Konstitusi. Sementara satu perkara telah diputus tidak dapat diterima karena mencantumkan nomor yang salah.
"Ada beberapa sudah masuk sidang pleno. Jadi kemungkinan sidang digabung dengan perkara lain bersamaan revisi UU KPK," ujar Hakim Arief.
Menanggapi tawaran itu, Feri Amsari meminta kepada Mahkamah agar sidang dilaksanakan terpisah dengan perkara lain yang telah terlebih dulu masuk. "Orang sudah masuk sidang pleno tiba-tiba kami datang hanya mendapat dampak putusan, kan rugi. Pimpinan KPK tentu punya hal yang akan disampaikan," ujar kuasa hakim pemohon Feri Amsari ditemui usai sidang.
Ada pun pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat. Selain itu, juga menyatakan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, mengalami cacat formil dan cacat prosedural sehingga tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.