REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menolak dakwaan genosida Pemerintah Myanmar terhadap warga Rohingya. Di hadapan sidang Pengadilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ), Suu Kyi menyatakan dakwaan tersebut separuh-separuh dan salah dipahami. Perkara genosida, menurut dia, seharusnya tidak sampai harus diproses ICJ.
"Gambia menempatkan gambaran yang sepotong-sepotong dan keliru tentang situasi sesungguhnya di Negara Bagian Rakhine di Myanmar," kata Suu Kyi memulai pembelaannya.
Suu Kyi mengakui adanya penggunaan kekuasaan militer yang berlebihan dan adanya warga sipil yang tewas. Namun, menurut dia, tindakan tersebut tidak otomatis masuk dalam kategori genosida.
"Tentu saja, dengan kondisi seperti itu, dugaan niat melakukan genosida tidak boleh berdasarkan hipotesis," kata Suu Kyi di hadapan panel ICJ yang terdiri atas 17 hakim.
"Mungkinkah ada niat genosida dilakukan sebuah negara yang secara aktif menginvestigasi, mengadili, dan menghukum tentara dan petugas yang didakwa melakukan kesalahan?" katanya menambahkan.
Menurut peraih Nobel Perdamaian 1991 ini, operasi pembersihan yang dilakukan militer Myanmar di Rakhine pada Agustus 2017 merupakan tindakan kontraterorisme. Tindakan itu disebutnya sebagai respons atas serangan militan Rohingya terhadap puluhan pos polisi Myanmar.
Dalam persidangan kali ini, Suu Kyi berbicara selama sekitar 30 menit. Sidang awal ini dijadwalkan berlangsung 10-12 Desember di ICJ. Gugatan terhadap Myanmar diajukan oleh Gambia yang mewakili Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Gambia mengajukan gugatan dengan dasar bahwa Myanmar melanggar Konvensi Genosida 1948.
Pegungsi Rohingya refugees, berjalan memasuki wilayah Bangladesh menuju kamp pengungsi di Palang Khali, dekat Cox's Bazar, Bangladesh, (19/10/2017).
Ancaman sanksi AS
Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi terhadap empat pemimpin militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi, atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya dan minoritas lainnya. Sanksi tersebut diberikan bersamaan dengan kehadiran Aung San Suu Kyi dalam audiensi hari pertama di pengadilan internasional di Den Haag.
Departemen Keuangan AS menyatakan, pasukan militer Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang cukup serius di bawah komando Kepala Militer Min Aung Hlaing. Tindakan keras militer pada 2017 di Myanmar mendorong lebih dari 730 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Penyelidik PBB mengatakan, operasi militer Myanmar mencakup pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran yang meluas, serta eksekusi dengan niat genosida.
“Selama masa ini, anggota kelompok etnis minoritas terbunuh atau terluka oleh tembakan, sering kali ketika melarikan diri, atau oleh tentara yang menggunakan senjata berbilah besar; yang lain dibakar hingga mati di rumah mereka sendiri,” kata pernyataan Departemen Keuangan AS.
Sanksi itu juga menargetkan wakil panglima militer, Soe Win, serta dua bawahan yang memimpin divisi pasukan elite dan mempelopori tindakan keras terhadap Rohingya. Laporan khusus Reuters tahun lalu memerinci peran utama dua unit militer Myanmar, Divisi Infanteri Cahaya ke-33 yang dipimpin oleh Than Oo dan Divisi Infanteri Cahaya ke-99 yang dipimpin Aung Aung, dalam konflik 2017.
Divisi Infanteri Cahaya ke-33 memimpin operasi militer di Desa Inn Din, tempat Reuters mengekspos pembantaian 10 pria dan anak laki-laki Rohingya oleh tentara dan penduduk desa Buddha. Dua wartawan Reuters yang menulis laporan berita tersebut dipenjara selama lebih dari 500 hari.
Tidak diketahui apakah para jenderal Myanmar tersebut memiliki aset di AS. Hingga berita ini diturunkan, Kedutaan Besar Myanmar di Washington tidak memberikan tanggapan. Departemen Keuangan mengatakan, sanksi itu bertujuan untuk mendukung transisi menuju demokrasi di Myanmar.
Direktur Advokasi Asia untuk Human Rights Watch John Sifton menyambut baik langkah AS yang memberikan sanksi kepada para jenderal militer Myanmar. Namun, menurut dia, pemberian sanksi ini terlambat.
“Sangat disayangkan keputusannya begitu lama. Kejahatan yang dipermasalahkan ini sangat serius. Jika Uni Eropa mengikuti langkah serupa dengan AS maka akan membuat militer Myanmar terpuruk secara geografis dan finansial," ujar Sifton. n rizky jaramaya/yeyen rostiyani/reuters, ed: yeyen rostiyani