REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 18 kota utama Indonesia menemukan 0,27 juta ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut Indonesia selama kurun waktu 2018. Sampah yang paling banyak ditemukan adalah sampah styrofoam.
"Teman-teman kita ini melakukan pengukuran ke lapangan. Dari jumlah tersebut pada umumnya merupakan sampah dengan jenis styrofoam," kata Kepala LIPI Laksana Tri Handoko usai rapat peluncuran baseline data nasional sampah laut di Jakarta, Kamis (12/12).
Sampah-sampah tersebut, masuk dari jalur sungai atau muara menuju laut lepas bukan akibat dari transportasi kapal. Menariknya, dari penelitian tersebut ditemukan bahwa styrofoam lebih dominan dari jenis sampah lain. Hal itu dikarenakan sampah plastik botol masih memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
"Jadi oleh pemulung, botol dan plastik diambil karena masih bisa didaur ulang sedangkan styrofoam tidak bisa," katanya.
Handoko mengatakan berdasarkan penelitian sampah tersebut, sebaiknya pemerintah dan lembaga terkait memprioritaskan larangan penggunaan styrofoam. Karena volumennya lebih tinggi dari jenis sampah lainnya.
Meskipun demikian, masyarakat terus diimbau agar mengurangi atau tidak menggunakan sampah plastik sekali pakai terutama jenis styrofoam dalam aktivitas sehari-hari.
Kemudian berdasarkan hasil riset tersebut, pada saat musim hujan volume sampah meningkat cukup drastis jika dibandingkan musim kemarau. Hal itu disebabkan tumpukan sampah di selokan atau got meluap akibat tingginya volume air.
Pemerintah, ujar dia, sedang mengupayakan 0,27 juta hingga 0,59 juta ton sampah yang masuk ke laut Indonesia selama kurun waktu 2018 bisa dikurangi hingga 70 persen. Untuk mencapai target 70 persen tersebut, LIPI merekomendasikan agar masyarakat dan lembaga pemerintah maupun swasta untuk mengubah perilaku, terutama dalam menekan penggunaan sampah sekali pakai.
"Pertama, masyarakat jangan buang sampah sembarangan dulu karena itu merusak ekosistem," kata dia.
LIPI menilai pemerintah memerlukan sebuah teknologi standar untuk memproses pembuangan hingga pembakaran sampah. Terutama bagi sampah styrofoam agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.
"Ini sedang dikembangkan di LIPI misalnya memakai insinerator yang dilengkapi dengan unit plasma," kata Laksana Tri Handoko.
Dengan mekanisme unit plasma tersebut LIPI menyakini kandungan racun seperti dioksin dapat diurai hingga mendekati nol persen. Unit plasma adalah sebuah alat yang menggunakan metode plasma non-thermal yang menguraikan gas buang yang beracun menjadi tidak beracun.
Metode plasma sendiri adalah teknologi yang menggunakan proses tumbukan elektron yang dapat mengionisasi dan menguraikan gas beracun seperti NOx. SOx, dioxin dan furan menjadi gas yang aman dan dapat dilepas ke lingkungan.
Ia mengatakan, selama ini masyarakat memproses sampah dengan cara dibakar menggunakan insinerator non standar. Cara itu akan menimbulkan kandungan dioksin sehingga bisa meracuni ekosistem sekitar serta membahayakan kesehatan.
"Tentunya penerapan cara seperti itu tidak bagus," kata dia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan sampah-sampah yang tidak bisa didaur ulang perlu dibakar dengan menggunakan teknologi standar. "Sampah itu harus dibakar menggunakan insinerator dengan teknologi standar sehingga emisinya tidak merusak lingkungan," kata dia.
Ia mencontohkan styrofoam merupakan sampah yang tidak bisa didaur ulang sehingga perlu penanganan khusus yaitu dibakar agar tidak merusak lingkungan.
Kota-kota besar dan metropolitan yaitu Jakarta, Bekasi dan Tangerang merupakan penghasil sampah dengan angka signifikan dibanding daerah lain. Bahkan, dalam hitungan KLHK setiap orang di kota tersebut menghasilkan 0,7 kilogram per hari.
"Tapi kalau di daerah kota kecil kita pakai angka antara 0,3 hingga 0,5 per kilogram," katanya.
Berdasarkan riset yang dilakukan LIPI, tingginya volume sampah di kota-kota besar tersebut dipengaruhi gaya hidup masyarakat yang cenderung menginginkan segala sesuatunya serba praktis.
Hasil riset monitoring peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan pula 59 persen sampah yang tiap hari masuk ke Teluk Jakarta adalah plastik. Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Muhammad Reza Cordova bersama Intan Suci Nurhati melakukan studi monitoring bulanan sampah dengan mengidentifikasi enam tipe sampah dan 19 kategori sampah plastik dari sembilan muara sungai di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi selama Juni 2015 sampai 2016.
Hasilnya dipublikasikan dalam makalah berjudul "Major Sources and Monthly Variations in the Release of Land-derived Marine Debris from the Greater Jakarta Area" yang terbit pada 10 Desember 2019 di jurnal Scientific Reports.
Berdasarkan hasil riset, peneliti mengestimasi aliran sampah dari kawasan Jakarta, Tangerang, dan Bekasi mencapai 8,32 ton per hari. Angka itu delapan sampai 16 kali lebih rendah dibandingkan dengan estimasi dalam studi-studi berbasis model.
Berdasarkan persentase 19 kategori sampah plastik yang dikumpulkan di sembilan hilir sungai di Kota Tangerang, Jakarta, dan Bekasi yang berakhir di Teluk Jakarta, sumbangan polistirena Tangerang 31,69 persen, Jakarta sebanyak 11,47 persen, dan Bekasi sebanyak 25,45 persen. Styrofoam, merek dagang busa polistirena, banyak digunakan untuk mengemas makanan.
Reza mengemukakan urgensi pengurangan secara sistematis penggunaan plastik dan polistirena di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Peraturan yang tentang pembatasan penggunaan kantong plastik di pusat perbelanjaan sejak Maret 2019 sudah diterapkan di Tangerang, Jakarta, dan Bekasi. Hanya saja, plastik sekali pakai masih digunakan dalam kegiatan perdagangan di pasar-pasar tradisional dan layanan pengiriman makanan berbasis aplikasi daring.
Pelarangan penggunaan bahan polistirena untuk mengemas makanan dan minuman baru diterapkan di beberapa kota. Bandung adalah salah satunya.
Menurut Reza, kebijakan tersebut merupakan inisiatif lingkungan yang perlu diikuti oleh pemerintah daerah yang lain di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Publikasi hasil studi monitoring sampah juga menyebutkan bahwa Indonesia memproduksi 1,65 juta ton plastik per tahun dan sebagian besar berakhir di lingkungan, menunjukkan mendesaknya upaya sistematis untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Di Indonesia Kota Bandung menjadi pelopor larangan penggunaan styrofoam. Berdasarkan catatan Pemkot Bandung, sampah berbahan styrofoam di wilayahnya mencapai 27 ton per bulan.
Wali Kota Bandung di era kebijakan larangan styrofoam digagas, Ridwan Kamil, mengatakan kemasan berbahan non-styrofoam mudah ditemukan dan harganya terjangkau. Ia meminta, masyarakat jangan selalu membandingkan kebaikan dengan versi harga. "Saya kira mahalnya juga tidak berlipat. Tapi, masa depan jauh lebih mahal harganya," katanya.
Data World Wide Fund for Nature (WWF) mencatat dunia kini memproduksi hampir 300 juta ton plastik setiap tahun. Sebagian besar dari jumlah tersebut adalah sampah yang tidak didaur ulang. Kebanyakan di antaranya dibuang begitu saja ke laut.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Maret lalu, organisasi lingkungan itu mendokumentasikan adanya peningkatan tajam produksi plastik sekali pakai sejak tahun 2000.
Saat ini, dilaporkan 85 persen sampah laut adalah plastik. Selain itu, diprediksi pada 2030 nanti limbah plastik akan bertambah hingga 104 juta ton.
Lebih lanjut, 20 tahun mendatang diperkirakan lautan akan lebih banyak dihuni oleh plastik dibandingkan ikan.
Isu pengurangan sampah masih jadi problem utama di hampir semua negara. Sampah terutama plastik dan styrofoam pasalnya sulit diurai.
Kantung plastik setidaknya butuh 10-20 tahun untuk bisa terurai dengan tanah. Sementara styrofoam baru bisa hancur setelah 50 tahun.
Infograsi sampah plastik.