REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabarhakam) Polri Inspektur Jenderal Agus Andrianto mengatakan, berdasarkan evaluasi Polri pada 2019 terdapat 26 peristiwa konflik sosial. Hal itu bisa terjadi karena pengaruh media sosial sabotase dan ancaman kejahatan terorisme.
"Pada awal sampai dengan bulan Juli 2019 telah terjadi 26 peristiwa konflik sosial yang salah satunya diakibatkan karena pengaruh media sosial sabotase dan ancaman kejahatan terorisme. Kondisi tantangan dan ancaman tersebut saat ini semakin diperparah dengan perkembangan teknologi informasi," katanya di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).
Agus melanjutkan, perkembangan teknologi informasi itu menampilkan kecepatan kebebasan keterbukaan informasi publik tanpa batas dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah atau norma-norma yang dijunjung tinggi oleh budaya bangsa Indonesia.
Kemudian, bebasnya masyarakat yang berpendapat membuat mereka tidak mengontrol diri untuk berekspresi melalui media sosial. Lalu, mereka juga tidak mampu menyaring dan menolak sejauh mana kebenaran dan keakuratan informasi tersebut. Sehingga permasalahan ini semakin kompleks.
"Ketika regulasi dan aparat penegak hukum tidak dapat menampilkan kehadiran negara dalam melindungi bangsa dan warga negaranya. Maka, diperlukan diskursus mengenai manajemen media yang efektif dan efisien dalam masa sekarang dimana dikenal dengan era disrupsi 4.0," kata dia.
Agus berharap kedepannya era disrupsi 4.0 bisa membawa perubahan yang positif bagi Indonesia. Sehingga teknologi terus berkembang dengan pemikiran-pemikiran kreatif. "Ya biar kedepannya mendorong tercapainya visi Indonesia maju," kata dia.