REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Muhammadiyah menilai dialog tokoh agama Asia Selatan dan Asia Tenggara mendorong penghapusan persekusi minoritas yang banyak terjadi di kawasan.
"Sering ada kesalahpahaman dan kecurigaan dan praktik-praktik diskriminasi persekusi antara pemimpin agama Islam dan Buddha," kata anggota Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah, Debbie Affianty, di sela jumpa persnya di Jakarta, Kamis (19/12).
Kepada wartawan yang meliput "The 2nd International Workshop on Fostering Inter and Intra Religious Dialogue to Prevent and Mitigate Conflicts in South and Southeast Asia", dia menekankan pentingnya dialog di kawasan.
Menurut Debbie, terjadi sejumlah diskriminasi dan persekusi oleh mayoritas kepada minoritas di dua kawasan Asia. Di beberapa kawasan penduduknya sebagian besar Islam dan sebagian kecilnya Buddha.
Di lain pihak, lanjut dia, di sejumlah wilayah Buddha menjadi mayoritas dan Islam minoritas sehingga guna menjembatani berbagai kesalahpahaman perlu dialog yang terus dilakukan.
"Intinya adalah untuk membangun dialog di antara agama-agama itu... dijembatani dialog di mana masalahnya, apa yang perlu diantisipasi dan perlu diselesaikan antara dua komunitas itu," kata dia.
Debbie mengatakan dalam dialog yang diikuti tokoh agama Islam dan Buddha Asia Selatan dan Asia Tenggara itu berupaya mencari cara bagaimana agar dua belah pihak selaras dalam menjalankan pendidikan inklusif tanpa diskriminasi, tidak ada yang dihilangkan perannya dan saling menghormati hak serta kewajiban masing masing.
Dialog tersebut, kata dia, juga sepakat untuk mencegah ujaran kebencian di kawasan. Jadi ketika ada di tingkat bawah akar rumput ada masalah misalnya, ada oknum pemeluk Buddha yang melakukan, lalu dibalas oleh yang Muslim dengan harus menyerang, maka hal tersebut harus dihentikan sejak awal kejadian.
"Bagaimana pemimpin pemuka agama masing-masing kemudian bisa memediasi jangan sampai ujaran kebencian melebar ke sosmed akhirnya menjadi konflik komunal," katanya.
Kemudian, dia mengatakan dialog tersebut searah untuk mempromosikan kesakralan rumah ibadah. "Masing-masing komunitas harus menghormati rumah ibadah umat lain dan juga harus mau membuka rumah ibadahnya untuk dikunjungi," katanya.