REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aliansi Cinta Keluarga (Aila) Indonesia meluncurkan buku berjudul Transformasi Menuju Fitrah. Tulisan di dalamnya berisikan hasil riset yang diharapkan membentengi masyarakat dari perilaku lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) .
Peneliti Aila, Dinar Dewi Kania, menjelaskan diskursus seputar perilaku LGBT telah menjadi perdebatan panjang. Pendorongya adalah pelaku dan pembela LGBT yang kian berani tampil terang-terangan di hadapan publik dengan mengatasnamakan isu persamaan hak.
Advokasi legalisasi LGBT semakin masif dilakukan para penyokongnya. Mereka berusaha mendobrak batas ketabuan yang selama ini diyakini masyarakat Indonesia.
“Keadaan tersebut menimbulkan persoalan karena LGBT merupakan sebuah anomali bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi norma-norma agama dan nilai-nilai budaya,” ujar Dinar Dewi kepada Republika.co.id, pada Ahad (29/12).
Karena itulah pihaknya menyusun dan meluncurkan buku tersebut. Lokasinya di Kantor Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations (Insists) Jakarta pada hari yang sama. Acara ini dihadiri ratusan orang dari berbagai kalangan. Semuanya antusias untuk menyimak hasil riset yang tertuang dalam buku ini.
Buku Tranformasi Menuju Fitrah bertujuan untuk beberapa hal. Pertama adalah untuk memberikan gambaran tentang sikap masyarakat Indonesia yang tercermin dalam filosofi bangsa, hukum, agama dan budaya Indonesia dalam memandang fenomena LGBT. Kedua, masyarakat diharapkan mengetahui upaya judicial review Pasal 292 KUHP terkait perbuatan cabul sesama jenis di Indonesia.
Ketiga, penelitian yang tertuang dalam buku ini memaparkan upaya-upaya yang dapat dilakukan bangsa Indonesia dan mengembalikan kelompok LGBT kepada fitrah kemanusiaan.
Buku ini disusun berdasarkan hasil kajian pustaka dan riset lapangan. Pengumpulan data diperoleh melalui focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan sejumlah ahli lintas bidang yang otoritatif terkait fenomena LGBT di Indonesia.
Dinar Dewi menjelaskan, Hak Asasi Manusia (HAM) kerap dijadikan argumen untuk mendukung perilaku LGBT. Hal ini tidak dapat dibenarkan. Argumentasi tersebut berasal dari nilai-nilai HAM partikular negara-negara Barat yang tidak dapat diterapkan secara universal ke seluruh dunia.
Indonesia memiliki hukum yang hidup dalam masyakat (the living law) berupa ajaran agama, adat, tradisi dan nilai-nilai lainnya. Meski tidak seluruhnya diformulasikan oleh negara, tetapi hukum itu hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat.
Pada beberapa sisi daya pengaruh living law ini bahkan mengalahkan pengaruh hukum positif di negara ini. Faktanya, kata Dinar Dewi, living law inilah yang membentuk norma hukum Pancasila, dan hukum positif adalah alat untuk mengekspresikan kehidupan.
Apalagi secara global, banyak negara yang tidak mengakui hak-hak LGBT. Sebagian di antaranya menunjukkan pendiriannya dengan tidak mengakui pernikahan sejenis, melarang penyebaran materi berbau LGBT, dan ada pula yang mengkriminalisasi pelakunya bahkan hingga hukuman mati. Hal ini menunjukkan tidak ada pengakuan universal, bahkan tidak juga mayoritas, terhadap hak-hak pelaku LGBT.
Meski mayoritas menolak perilaku LGBT, tak berarti masyarakat Indonesia harus membenci dan menjauhi para pelakunya. Gerakan penolakan dan upaya judicial review pasal-pasal kesusilaan, merupakan penolakan terhadap pemaksaan nilai-nilai yang bertentangan dengan agama dan moralitas bangsa.
Sedangkan mereka yang terjebak pada perilaku menyimpang LGBT harus dirangkul dan didorong untuk bertransformasi. Dengan begitu, mereka diharapkan bisa hidup sebagaimana fitrah kemanusiaan yang menyukai lain jenis dan berprilaku semestinya.
Masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai spiritualitas yang bersumber dari agama. Nilai-nilai agama merupakan salah satu nilai yang secara positif membantu para pelaku LGBT untuk kembali kepada fitrahnya.
Tuntutan pembaruan hukum di Indonesia untuk mengatur perilaku LGBT harus dilandasi pandangan falsafah yang kokoh. Filosofi yang harusnya dikedepankan dalam menyikapi masalah kriminalisasi LGBT adalah, seseorang dilindungi bukan karena perlindungan tersebut dapat menimbulkan dampak terhadap orang lain, tetapi juga seseorang harus dilindungi dari perbuatan merusak dirinya sendiri.