Ahad 05 Jan 2020 19:27 WIB

UEFA: VAR Bukan untuk Menjadi Wasit

VAR jangan sampai mengubah semangat dan cairnya pertandingan.

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Endro Yuwanto
Wasit mengecek video assistant referee (VAR) dalam sebuah laga. Ilustrasi.
Foto: EPA/Friedemann Vogel
Wasit mengecek video assistant referee (VAR) dalam sebuah laga. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, NYON -- Kebingungan soal penggunaan video assistance referee (VAR) kian meningkat. Apalagi, VAR saat ini diterapkan pada lima liga top Eropa, termasuk Liga Champions.

Perdebatan semakin panas saat pengamat sepak bola di Liga Inggris mengkritik keputusan wasit soal VAR yang bisa dijadikan sebagai patokan offside.

Kepala wasit Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) Roberto Rosetti mengakui, kalau penggunaan VAR sudah offside. Menurutnya, keberadaan VAR memang sangat diperlukan, sebagai jaminan keadilan. Tapi VAR jangan sampai mengubah semangat dan cairnya pertandingan.

"Kami ingin VAR hanya mengintervensi saat menunjukkan gambar kesalahan yang jelas, bukan untuk menjadi wasit dalam pertandingan," ujar Rosetti dikutip dari Football-italia, Ahad (5/1).

Di Liga Inggris, ada tuntutan untuk mengubah aturan offside, khususnya terkait dengan jarak yang sangat tipis. Namun Rosetti menjelaskan, bagian badan, di luar tangan, yang lebih dekat dengan garis gawang tetap offside. Oleh karena itu, dalam teorinya, setipis apapun jaraknya, maka itu adalah offside.

Tapi VAR, lanjut Rosetti, dalam beberapa situasi offside, kesulitan untuk menentukan keputusan saat jaraknya sangat tipis. Sehingga jika ingin melihat ulasan offside, akan membutuhkan beberapa menit untuk mengambil keputusan. "Itu jelas sangat sulit mengevaluasi apakah offside atau tidak. Hal terbaik adalah membiarkan keputusan diambil di lapangan," kata dia.

Sebab, lanjut Rosetti, protokol IFAB menyatakan, VAR hanya mengubah keputusan yang jelas-jelas salah. Jika keputusan diambil lebih dari tiga menit dengan 10 sampai 15 ulasan dan menggunakan empat sampai lima sudut kamera berbeda, maka itu bukan kesalahan yang jelas, dan mengarah kepada interpretasi yang subjektif.

Rosetti juga bicara soal interpretasi aturan handball dan panduan untuk situasi ini. Tujuannya tidak lain adalah menemukan konsistensi dan keseragam keputusan, dengan memasukan pergerakan pemain dalam aturan tersebut. Misalnya, kata dia, meletakkan tangan di belakang badan saat bertahan bukan gerakan natural. Jadi, jika tangan bergerak secara natural, maka itu tidak perlu dianggap sebagai handball.

"IFAB berusaha mengklarifikasi beberapa parameter terkait apa yang bisa dihukum. Satu-satunya perubahan yang kami lakukan adalah membuat hukuman meskipun tidak sengaja, saat mencetak gol atau menciptakan peluang mencetak gol," ujar Rosetti.

Kontroversi VAR paling disorot ada di Liga Inggris. Contohnya dalam pertandingan penutup 2019. Kemenangan Liverpool atas Wolves dikritik karena penggunaan VAR yang dinilai tak berimbang.

Kontroversi VAR lainnya adalah gol Crystal Palace yang dianulir hanya karena bahu Wilfred Zaha dinilai offside. Sama seperti yang terjadi pada gol pemain Brighton Dan Burn, yang dianulir hanya karena ketiaknya offside.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement