REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai tindakan Reynhard Sinaga (36) melakukan kejahatan seksual sebagai bentuk manifestasi infeority complex. Korban melakukan tindak kejahatan untuk memperoleh sensai superioritas.
Ia menjelaskan, inferiority complex adalah sebuah kondisi psikologis di tingkat alam bawah sadar, ketika suatu pihak merasa inferior, lemah, atau lebih rendah dibanding pihak lain. Atau ketika ia merasa tidak mencukupi suatu standar dalam sebuah sistem.
Karena merasa lemah atau inferior itulah, ia menilai, Reynhard melakukan pemerkosaan terhadap korbannya dengan dibius, untuk memperoleh superioritas terhadap orang lain. "Itu sebagai manifestasi inferiority complex yang dikompensasi lewat perilaku jahat dalam rangka memperoleh sensasi superioritas," ujar Reza, Selasa (7/1).
Menurutnya, Reynhard terlebih dahulu menjalin pertemanan dengan korban. Dalam waktu singkat, ia merasa diterima dan kemudian berhasil menguasai korban.
Selanjutnya, Reza menjelaskan, Reynhard merekam kejahatannya sebagai bentuk kebanggaan terhadap dirinya sendiri. Ini, ia menyebutkan, selayaknya portifolio seseorang dalam sebuah resume.
"Perkiraan saya tentang inferiority complex yang dikompensasi untuk mendapat superiority itu didukung pula rekaman-rekaman yang dilakukan pelaku. Laksana CV berisi daftar prestasi atau portofolio," ujar Reza.
Setelah merasa telah menguasai korbannya, timbulah sexual gratification atau kepuasan seksual. Di sisi korban, ia mengatakan, telah mengalami keruntuhan mental akibat kejahatan seksual dengan bius tersebut.
"Kasus perkosaan adalah kasus dalam ruang tertutup. Korban cenderung mengalami kebinasaan mental. Pasti banyak kasus serupa. Pasti, tapi tak terungkap," ujar ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) itu.
Soal apakah perbuatan Reynhard adalah bentuk dari masa lalunya yang pernah menjadi korban kejahatan seksual, Reza menilai hal tersebut dapat diperdebatkan. Sebab, perbuatan yang dilakukan oleh Reynhard merupakan kejahatan yang sangat besar.
"Muncul istilah rape trauma syndrome, masih menjadi perdebatan tentang mengapa rape harus ditonjolkan. Sementara kejahatan jenis lain tidak didiagnosa secara spesifik," ujar Reza.
Menurut Reza, Reynhard pantas dihukum seberat-beratnya. Bahkan, jika Inggris menerapkan hukuman mati, hal tersebut pantas untuk dijatuhkan kepadanya.
"Andai Inggris mempraktikkan hukuman mati, lakukan saja. Walau pernah menjadi korban, tidak patut menjadi unsur peringan atau pun pemaaf," ujar Reza.
Berdasarkan empat persidangan yang dijalani, Reynhard harus siap menjalani hukuman penjara minimal 30 tahun. Terdakwa terbukti membujuk korbannya di luar tempat hiburan malam di Kota Manchester untuk dibawa ke tempat tinggalnya, lokasi ia melakukan kejahatan penyerangan seksual.
Dalam beberapa kasus, Reynhard bahkan merekam kejahatan yang ia lakukan menggunakan kamera ponsel. Jaksa pemerintah, Ian Rushton, menyebut bahwa skala kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa hampir tidak dapat dipercaya.
"Sikap Reynhard yang sama sekali tidak terlihat berbahaya bisa menipu para laki-laki muda itu, yang sebagian justru sempat berterima kasih atas kebaikan dia dalam menawarkan tempat untuk singgah sehingga mereka berpikir monster ini adalah seorang pria baik hati," Rushton.