REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH— Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Aceh segera menindaklanjuti pengaduan wartawan korban pengancaman akan dibunuh yang diduga dilakukan oknum pengusaha di Aceh Barat.
"Pengaduan seorang wartawan dari Aceh Barat telah kami terima dan yang bersangkutan juga sudah dimintai keterangan," kata Kepala Kantor Komnas HAM Aceh, Sepriady Utama, di Banda Aceh, Rabu (8/1).
Sebelumnya, Aidil Firmansyah (25), wartawan media cetak pekanan dan daring terbitan Aceh yang bertugas di Aceh Barat dan Nagan Raya melapor ke polisi setempat setelah mendapat ancaman dibunuh oleh oknum pengusaha.
Ancaman diterima wartawan tersebut terkait pemberitaan pengangkutan tiang pancang untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Nagan Raya.
Sebelum menindaklanjuti pengaduan tersebut, kata Sepriady, pihaknya akan menelaah apakah laporan wartawan tersebut merupakan bagian dari kewenangan Komnas HAM atau tidak.
"Kalau memang itu kewenangan kami, kami akan melakukan pemantauan dan penyelidikan, termasuk berkoordinasi dengan kepolisian. Tentunya, kami berpegang pada asas praduga tidak bersalah dan persamaan kedudukan di depan hukum," kata Sepriady Utama didampingi tim pemantauan penyelidikan Komnas HAM Aceh Eka Azmiyadi.
Terkait laporan korban diduga diancam karena pemberitaan, Komnas HAM berharap pihak kepolisian menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Kami juga akan menelaah apakah pengaduan korban berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik. Kalau iya, sedapat mungkin kepolisian menggunakan Undang-Undang Pers," kata Sepriady Utama.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, meminta kepolisian agar tidak keliru menetapkan pasal menjerat pelaku terduga pengancaman wartawan di Aceh Barat tersebut.
Menurut Syahrul, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 harus menjadi pokok utama kasus tersebut. Apalagi ada informasi pelaku hanya dijerat pasal 335 KUHP oleh penyidik kepolisian.
"Pasal 335 KUHP merupakan pasal pengancaman biasa dan berlaku umum. Sedangkan kasus ini, korbannya adalah wartawan dan terkait dengan pemberitaan," kata Syahrul pula.
Syahrul menyebutkan UU Nomor 40 Tahun 1999 adalah undang-undang khusus, dapat mengesampingkan UU berlaku umum atau KUHP. Dengan demikian, kasus ini bukan masuk pidana umum tetapi pidana khusus.
"Pelaku dapat dijerat tidak hanya menghalang-halangi tugas jurnalistik diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999, tetapi juga merampas kemerdekaan pers seperti diatur pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999," kata Syahrul pula.