REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan kemiskinan Indonesia dinilai masih diliputi banyak permasalahan. Ekonom Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan penurunan angka kemiskinan Indonesia terhitung masih sangat lambat.
"Angka kemiskinan memang turun tapi jauh lebih lambat jika dihitung dalam 5 tahun sebelumnya," kata Bhima saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (15/1).
Data BPS mencatat persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2019 sebesar 6,69 persen, turun menjadi 6,56 persen pada September 2019. Sedangkan penduduk miskin di perdesaan tercatat turun tipis dari 12,85 persen menjadi 12,60 persen di periode yang sama.
Menurut Bhima, berdasarkan data-data tersebut artinya belum banyak rakyat miskin yang terangkat diatas garis kemiskinan. Padahal selama ini pemerintah sudah menaikkan anggaran bantuan sosial (bansos).
Sebagai informasi, dana yang digelontorkan untuk bansos 2019 mencapai Rp 100 triliun. Anggaran tersebut naik dibanding 2018 yang hanya berkisar Rp 80 triliun. Sebelumnya pada 2017, dana bansos tercatat hanya Rp 50 triliun.
Bhima juga menyoroti tingginya angka kemiskinan di Papua dan Maluku. Persentase penduduk miskin di Wilayah di Indonesia Timur tersebut masih menjadi yang tertinggi diantara wilayah lainnya.
Berdasarkan data BPS, persentase kimiskinan perdesaan di Maluku-Papua mencapai 28,28 persen. Menurut Bhima, porsinya tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Bhima menyoroti, tingginya persentase kemiskinan di Papua-Maluku disebabkan terbatasnya ketersediaan lapangan kerja bagi penduduk lokal. Di sisi lain, kualitas pendidikannya pun masih jauh tertinggal dibanding Jawa.
Ditambah, lanjut Bhima, percepatan infrastruktur yang selama ini dilakukan pemerintah tidak sejalan dengan pertumbuhan dunia usaha di sana. Sehingga, upaya-upaya yang dilakukan pun menjadi tidak efektif.
"Ada tol laut tapi dari sisi jumlah usaha menengah besar baru tidak naik signifikan," tutup Bhima.