Jumat 17 Jan 2020 05:05 WIB

Dana Desa Belum Efektif Kurangi Kemiskinan di Desa

Angka kemiskinan di perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan perkotaan.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Deretan bangunan rumah warga yang berada di bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta, Ahad (17/6). Angka kemiskinan di perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan perkotaan.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Deretan bangunan rumah warga yang berada di bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta, Ahad (17/6). Angka kemiskinan di perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan perkotaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Insitute for Development of Economic and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama menilai, dana desa sebagai salah satu instrumen untuk mengatasi kemiskinan di perdesaan belum efektif dalam mengurangi penurunan tingkat kemiskinan. Sebab, dana desa masih banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, bukan program pemberdayaan ekonomi yang berfokus pada pengentasan kemiskinan.

Riza menjelaskan, sudah saatnya alokasi dana desa dialihakan sebagai program pemberdayaan ekonomi. "Dengan begitu, penurunan angka kemiskinan akan lebih nendang," ujarnya dalam diskusi online Indef pada Kamis (16/1).

Baca Juga

Seperti yang dapat dilihat pada rilis BPS kemarin, Riza menjelaskan, angka kemiskinan di perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Sebanyak 60,23 persen dari total jumlah penduduk miskin tinggal di wilayah perdesaan, sementara 39,77 persen tinggal di perkotaan. Tingkat penurunan kemiskinan di perdesaan sejak keluarnya dana desa di 2015 tidak jauh berbeda dengan sebelum adanya dana desa dikisaran dua persen hingga lima persen.

Riza menambahkan, untuk mendukung pemberdayaan ekonomi, maka diperlukan pendampingan, pelatihan dan pengawasan intensif. Oleh karena itu, perlu ada perbaikan kapasitas perangkat desa sekaligus peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat desa.

Di sisi lain, Riza menjelaskan, dibutuhkan pengembangan basis ekonomi perdesaan yang didominasi pertanian dan perkebunan. Selama ini, dua basis tersebut diketahui masih dilakukan dengan cara konvensional, sehingga produktivitasnya rendah. 

"Untuk mengatasinya, maka dapat dilakukan pengembangan teknik bertani dan berkebun agar produktivitas meningkat," ujarnya.

Dalam sektor berkebun, masyarakat juga belum menggelutinya dengan fokus sehingga ketika harga komoditas jatuh, maka akan ditinggalkan. Hal ini banyak terjadi di pedesaan di daerah Nias yang merupakan penghasil karet. Ketika harga karet jatuh, maka karet ditinggalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pemberian nilai tambah pada produk komoditas unggulan.

Permasalahan lain yang kerap timbul atas produk Badan Usaha Menengah Desa, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan komoditas unggulan di perdesaan adalah pemasaran dan distribusi. Riza menjelaskan, sehingga perlu peningkatan akses terhadap distribusi yaitu jalan dan moda transportasi sekaligus peningkatan akses terhadap pemasaran produk.

Penciptaan sinergitas program pembangunan antara desa, kecamatan, dan kabupaten agar lebih terarah dan tidak tumpang tindih juga harus dialkukan. "Sinergitas lintas desa dapat membantu perluasan akses terhadap jalur disribusi dan pemasaran produk BUMDes, UMKM," tutur Riza.

Tidak kalah penting, perlu ada pembukaan akses terhadap sektor ekonomi baru di perdesaan selain pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan perekonomian dan mengurangi kemiskinan. 

Menurut Bank Dunia, Riza mengatakan, kegiatan nonpertanian yang dapat dikembangkan di perdesaan adalah kegiatan rantai nilai. Misalnya, transportasi, distribusi, pemasaran, dan ritel, serta pariwisata, manufaktur, konstruksi dan pertambangan. "Ditambah kegiatan wirausaha seperti kerajinan tangan, toko roti, mekanik, kios, dan sebagainya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement