REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB -- Setidaknya 21 orang tewas di provinsi Idlib barat laut yang dikuasai pemberontak Suriah ketika pasukan pemerintah Suriah dan sekutu Rusia melakukan serangan udara. Perjanjian gencatan senjata antara Rusia dan Turki, telah disepakati pada Ahad, namun kekerasan masih terjadi hingga Rabu (15/1) waktu setempat.
Syrian Civil Defence atau dikenal dengan White Helmets mengatakan, serangan udara dan bom barel menghantam pasar sayuran di kota Ariha. Juru Bicara White Helmets Ahmed Sheiko mengatakan, setidaknya 19 orang tewas dalam serangan di pasar dan toko-toko terdekat, termasuk seorang sukarelawan White Helmets.
Sheikho juga mengatakan, seorang pria juga terbunuh di desa Has akibat serangan udara pemerintah Suriah. Sementara seorang gadis muda meninggal karena luka yang diderita dalam serangan sebelumnya, yang terjadi sebelum gencatan senjata terbaru dilaksanakan.
Setidaknya tercatat 82 orang terluka dalam serangan Rabu dan jumlah kematian kemungkinan akan meningkat. Pengeboman itu menelan beberapa kendaraan di zona industri yang membuat mayat para pengendara mobil yang terjebak di dalamnya terperangkap.
Pengelola bengkel, Mustafa mengatakan, ia kembali ke bengkelnya dan melihat tokonya hancur dan empat pegawainya terjebak di bawah puing-puing. Belum jelas apakah mereka selamat atau tidak. "Ini bukan lingkungan yang saya tinggalkan dua menit yang lalu," kata Mustafa dikutip Aljazirah.
Serangan datang beberapa hari setelah jeda singkat. Gencatan senjata yang ditengahi oleh Moskow tersendat pada Selasa malam ketika serangan udara menghantam serangkaian kota di bagian selatan provinsi Idlib. Gencatan senjata yang berumur jagung itu mengikuti gencatan senjata sebelumnya yang diumumkan pada akhir Agustus. Itu terjadi setelah serangan oleh pemerintah menewaskan lebih dari 1.000 warga sipil dalam empat bulan.
Penduduk dan pekerja penyelamat mengatakan, banyak kota dan desa di wilayah selatan provinsi itu kini kosong sebagai akibat serangan ofensif pemerintah Suriah yang didukung Rusia. Serangan itu menggusur ratusan ribu orang sejak dimulai pada April.
Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric mengatakan dalam sebuah pernyataan, PBB semakin khawatir tentang keselamatan warga sipil di sana. "PBB mendesak semua pihak, dan mereka yang memiliki pengaruh atas pihak-pihak itu, memastikan perlindungan warga sipil dan infrastruktur sipil, sesuai dengan kewajiban mereka di bawah hukum humaniter internasional," katanya, Rabu (15/1).