Senin 20 Jan 2020 09:52 WIB

Pakar: Ada Dugaan Unsur Penipuan dalam Suap Wahyu Setiawan

KPK diminta untuk merinci kronologi kasus penyuapan komisioner KPU.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Teguh Firmansyah
Komisioner KPU Wahyu Setiawan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Komisioner KPU Wahyu Setiawan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Pencucian Uang, Yenti Garnasih menduga ada tindakan pemerasan atau penipuan terkait kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politikus PDIP Harun Masiku.

Menurut dia, KPK perlu mengungkap kemungkinan adanya iming-iming memuluskan penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR.

Baca Juga

"Meski inisiatif dari penyuap bisa jadi di kronologi berikutnya mungkin penyuap mau mundur, malah dari KPU yang menawarkan atau malah memeras," ujar Yenti dalam sebuah diskusi dikawasan Tebet, Jakarta Selatan, Ahad (19/1).

Yenti meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merinci kronologi kasus tersebut sesuai sangkaan tindakan pidana suap. Sehingga, terungkap modus pelaku dan perilaku awal tindakan pidana itu.

Sebab, Wahyu Setiawan pun pada sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengatakan, KPU tak bisa mewujudkan PAW Riezky Aprilia kepada Harun sesuai permintaan PDIP.

Hal itu karena bertentangan dengan Undang-Undang dan keputusan KPU bersifat kolektif kolegial bersama anggota KPU lainnya.

"Kemudian bagaimana pada akhirnya penyuap memberikan padahal menurut KPU tidak mungkin kalau tidak kolektif kolegial. Nah di situ saya mengatakan, mungkin di situ ada yang meyakinkan penipuan tidak apa-apa di situ. Ada penipuannya, nggak masalah menurut saya," kata Yenti.

Diketahui, DPP PDIP mengajukan permohonan kepada KPU terkait pengalihan suara Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia untuk Harun Masiku di daerah pemilihan Sumatera Selatan I pada 5 Agustus 2019. Pengajuan ini dilakukan DPP PDIP setelah adanya putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019 tertanggal 19 Juli 2019.

Pada amar putusan tersebut, menyatakan antara lain,“... dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon."

Permohonan DPP PDIP ditolak oleh KPU dengan alasan pengalihan suara tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Lalu, DPP PDIP meminta fatwa kepada MA agar KPU bersedia melaksanakan permintaan DPP PDIP sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan.

Menanggapi permintaan DPP PDIP, MA mengeluarkan surat yang berisikan penjelasan bahwa untuk melaksanakan Putusan MA tersebut, KPU wajib konsisten menyimak “Pertimbangan Hukum” dalam putusan dimaksud (Putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019), khususnya halaman 66-67, yang antara lain berbunyi “Penetapan suara calon Legislatif yang meninggal dunia, kewenangannya diserahkan kepada pimpinan partai politik untuk diberikan kepada calon legislatif yang dinilai terbaik”.

Berdasarkan penjelasan MA tersebut, DPP PDIP kembali mengirimkan surat ke KPU untuk melaksanakan penggantian Riezky Aprilia sebagai anggota DPR Dapil Sumatera Selatan I kepada Harun Masiku tertanggal 6 Desember 2019. Kemudian KPU membalas surat tersebut tertanggal 7 Januari 2020 yang pada pokoknya KPU tidak dapat memenuhi permohonan penggantian tersebut.

Sebab, Harun Masiku tidak memenuhi peraturan perundangan-undangan yang mengatur Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR RI karena sudah dilaksanakannya pelantikan pada 1 Oktober 2019. Aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement