Selasa 21 Jan 2020 02:15 WIB

Pentagon Dianggap Menyebabkan Polusi dengan Bakar Busa

Pentagon dinilai tak mematuhi peraturan.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Muhammad Hafil
Pentagon Dianggap Menyebabkan Polusi dengan Bakar Busa. Foto: Markas Pentagon.
Foto: AP Photo/Charles Dharapak
Pentagon Dianggap Menyebabkan Polusi dengan Bakar Busa. Foto: Markas Pentagon.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON DC—Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) dianggap sedang mencemari lingkungan dengan bahan kimia beracun dengan terus membakar tumpukan besar busa pemadam kebakaran. Menurut para pecinta lingkungan, ini adalah suatu langkah  yang melanggar peraturan baru.

Dalam sepucuk surat yang dikirim pekan lalu pada Menteri Pertahanan Mark Esper, beberapa organisasi lingkungan berpendapat departemen pertahanan sudah tidak memenuhi ketentuan baru yang mengatur pembuangan bahan kimia beracun dan bersikeras bahwa bahan tersebut segera menghentikan pembakaran busa yang disebut AFFF yang membahayakan komunitas.

Baca Juga

Bahan kimia beracun yang dibakar  disebut PFOS dan PFOA. Dua senyawa tersebut termasuk keluarga besar bahan kimia berpotensi beracun disebut zat per dan polifluoroalkil (PFAS).

Bahan kimia ini telah dikaitkan dengan masalah kesehatan yang serius seperti kanker, ginjal, penyakit tiroid dan komplikasi kehamilan. Departemen pertahanan menggunakan AFFF selama beberapa dekade yang mengarah ke kontaminasi luas tanah dan air minum di pangkalan militer nasional.

Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional mengatakan pembakaran AFFF sekarang harus dilakukan sesuai dengan Clean Air Act (CAA) di fasilitas limbah berbahaya yang diizinkan. Tetapi Direktur Senior Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam untuk kesehatan dan makanan Erik Olson mengatakan, ada kebutuhan untuk penelitian yang jauh lebih signifikan dan tindakan pengaturan untuk memastikan pembuangan dilakukan dengan cara yang tidak hanya memindahkan masalah lingkungan sekitar.

Penasihat toksik senior Sierra Club untuk program gender, kesetaraan dan lingkungannya, Sonya Lunder memperingatkan pembakaran tidak mungkin sepenuhnya memecah bahan kimia beracun pada AFFF, yang mengarah ke senyawa PFAS, termasuk kemungkinan gas rumah kaca yang dipancarkan ke lingkungan. Alih-alih pembakaran, kata Lunder, busa itu harus dibuang dengan teknologi seperti yang digunakan untuk menghancurkan persediaan senjata kimia usang milik negara.

The Guardian melaporkan pada Desember bahwa senyawa-senyawa ini telah terdeteksi dalam air hujan di seluruh negeri pada tingkat yang cukup tinggi untuk memicu tindakan pengaturan jika ditemukan dalam air minum. Para akhli juga menyuarakan keprihatianan tentang sejarah kepatuhan yang buruk di insinerator limbah berbahaya tertentu dan kedekatannya dengan pabrik-pabrik masyarakat berpenghasilan rendah dan rentan ini.

Insinerator limbah berbahaya milik Veolia di Sauget Illinois, misalnya, telah mengelaurkan pelanggaran prioritas tinggi terhadap CAA setiap kuartal selama tiga tahun terakhir. Lebih dari setengah populasi dalam radius tiga mil dari pabrik hidup di bawah tingkat kemiskinan.

Mamie Cosey (79) yang tinggal kurang dari satu mil dari pabrik Veolia mengatakan departemen pertahanan mutlak tidak boleh dibiarkan membakar AFF yang begitu dekat dengan rumahnya. Pensiunan guru yang menjadi wali dari tiga cicit remaja ini khawatir asma, sakit kepala dan masalah kesehatan lainnya.

“Saya tidak punya beberapa tahun lagi untuk hidup. Tapi cicitku, bagaimana mereka akan tumbuh? Apa efek abadi ini pada kehidupan mereka,” ujar Cosey, seperti yang dilansir dari The Guardian, Senin (20/1).

Wakil Asisten Sekretaris Pertahanan Untuk Lingkungan, Maureen Sullivan menulis dalam sebuah pernyataan bahwa departemen pertahanan telah membakar bahan-bahan PFAS di fasilitas limbah berbahaya sejak 2016, karena lebih melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Departemen pertahanan tidak menjawab berapa banyak AFFF yang sedang menunggu pembuangan. Awal tahun lalu, intercept melaporkan DoD sedang menunggu untuk menghancurkan dua juta galon busa dan air yang terkontaminasi.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement