REPUBLIKA.CO.ID, RABAT – Warisan sejarah Yahudi dan Muslim di Maroko dilestarikan dalam sebuah ruang yang dinamakan dengan House of Memory atau disebut Bayt Dakira. Terletak di kawasan pesisir kota tua Essaouira di Maroko, House of Memory yang baru dibuka ini didedikasikan untuk koeksistensi bersejarah dari komunitas Yahudi dan Muslim di negara itu.
Bangunan ini terletak di gang sempit di antara jalur labirin. Bayt Dakira berada di bekas rumah keluarga pedagang kaya, yang ditambahi sebuah sinagog kecil yang dihiasi dengan kayu dan perabotan ukir.
Penasihat Raja Mohammed VI, Andre Azoulay, mengatakan bangunan yang direstorasi ini memberikan kesaksian tentang periode ketika Islam dan Yahudi memiliki kedekatan, keterlibatan dan keintiman yang luar biasa. Azoulay, yang juga anggota komunitas Yahudi Essaouira, meresmikan proyek ini dalam kemitraan dengan kementerian budaya Maroko.
"Kami berkata pada diri kami sendiri: Kami akan membiarkan warisan kami berbicara, dan melindungi tentang seni hidup bersama dalam rasa saling menghormati," kata Azoulay, dilansir di Daily Mail Online, Selasa (21/1).
Putrinya, Audrey Azoulay, merupakan Direktur Jenderal Badan Kebudayaan PBB UNESCO. Audrey juga hadir pekan lalu ketika Raja Maroko Mohammed VI melakukan kunjungan resmi ke pusat itu.
Bayt Dakira memamerkan benda-benda yang disumbangkan oleh keluarga setempat. Di samping, terdapat cerita-cerita tentang anggota komunitas Yahudi dari kota barat daya di Atlantik.
Mereka termasuk Leslie Belisha (1893-1957), yang merupakan menteri keuangan, transportasi, dan perang Inggris, kemudian ada nama David Yulee Levy (1810-1986), orang Yahudi pertama yang terpilih dalam sejarah Amerika Serikat.
Selain itu, terdapat sebuah panel yang berisi daftar penasihat kerajaan yang merupakan Yahudi dari Essaouira, termasuk Azoulay yang dipanggil ke istana pada 1991 oleh Hassan II, almarhum ayah Mohammed.
Bayt Dakira juga menyimpan foto-foto lama, arsip rekaman, rekaman musik, pakaian tradisional dan benda-benda keagamaan.
Sementara itu, lantai atas bangunan akan menjadi pusat penelitian. Pada masa Sultan Mohamed III, pada abad ke-18 pelabuhan kecil itu diubah menjadi pusat diplomatik dan komersial. Di masa Sultan Mohammed III ini, menurut penasihat kerajaan berusia 78 tahun itu, Essaouira adalah satu-satunya kota di dunia Islam dengan populasi mayoritas Yahudi.
Azoulay memang memiliki tujuan untuk mengubah sejarah kotanya menjadi simbol 'seni kemungkinan' dan mendorong kembali apa yang ia sebut sebagai 'amnesia, regresi dan arkaisme'. Pada satu titik, Essaouira pernah memiliki 37 sinagoge, tetapi sebagian besar telah hancur.
Essaouira sebagian besar dilupakan selama protektorat Perancis (1912-1956). Akan tetapi, kota ini mengalami kelahiran kembali secara bertahap sejak awal 1990-an, dan berubah menjadi tujuan wisata dan suar budaya.
Kota ini bukan satu-satunya kota yang menyimpan peringatan warisan leluhur Yahudi-Maroko di negara itu. Pemakaman, sinagoge, dan tempat bersejarah Yahudi juga tengah dipugar kembali.
Sejak 1997, Casablanca telah menampung Museum Yahudi Maroko, yang merupakan satu-satunya dari jenisnya di dunia Arab. Sementara di Fez, ibukota spiritual negara itu, tengah dibangun sebuah museum yang didedikasikan untuk memori Yahudi.
Meskipun kerajaan tidak memiliki hubungan resmi dengan Isreal, namun ribuan orang Yahudi keturunan Maroko masih kerap mengunjungi negara itu setiap tahunnya.
Mereka datang untuk menemukan kembali tanah leluhur mereka, di samping merayakan acara keagamaan atau berziarah.
Komunitas Yahudi di Maroko sendiri telah hadir sejak jaman dahulu dan tumbuh selama berabad-abad. Terutama, dengan kedatangan orang Yahudi yang diusir dari Spanyol oleh raja-raja Katolik setelah 1492.
Pada akhir 1940-an, jumlah orang Yahudi Maroko adalah sekitar 250 ribu atau sekitar 10 persen dari populasi. Namun, banyak orang Yahudi yang pergi meninggalkan Maroko setelah pembentukan Israel pada 1948. Saat ini, komunitas Yahudi di Maroko berjumlah sekitar 3.000, dan masih menjadi yang terbesar di Afrika Utara.