REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Garuda Indonesia (Persero) memiliki komposisi direksi dan komisaris baru setelah menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada Rabu (23/1). Posisi direktur utama ditempati Irfan Setiaputra, sementara Komisaris Utama Triawan Munaf akan dibantu Wakil Komisaris Chairal Tanjung, Komisaris Independen Elisa Lumbantoruan, Komisaris Independen Yenny Wahid, dan Komisaris Peter F. Gontha.
Komisaris Peter F. Gontha kembali menduduki posisi komisaris setelah sempat menjadi komisaris Garuda pada 2011 hibgga 2014. Peter melepaskan jabatan tersebut saat menjadi duta besar Indonesia untuk Polandia.
Melalui akun media sosialnya di Instagram pada Kamis (23/1), Peter membagikan cerita soal perjalanan bisnis Garuda. Pada 2011, kata Peter, pada waktu Menteri BUMN adalah Mustapha Abubakar, Garuda memutuskan mencatat sahamnya di pasar modal dengan harga perdana Rp 750 sampai Rp 1.100.
Ia menyampaikan Bendahara dari partai Demokrat Moh Nazarudin menyatakan akan membeli saham Garuda dengan harga tersebut. Harga yang oleh pasar dianggap sangat terlalu tinggi. "Pada saat harus terjadinya pembayaran Nazaruddin tidak muncul dan tidak datang menyelesaikan kewajibannya karena sadar bahwa harga saham tersebut jauh diatas kisaran harga nilai perusahaan," ujar Peter.
Untuk tidak hilang muka, lanjut Peter, pemerintah meminta Kelompok perusahaan pimpinan Chairul Tanjung (CT) datang menjadi 'dewa penyelamat' dan CT akhirnya menyetujui membeli saham Garuda sebanyak 29 persen dengan harga total sekitar 300 juta dolar atau sekitar Rp 3,5 triliun dengan harga saham rata-rata Rp 600 sampai Rp 650.
Peter mengatakan CT setuju membantu pemerintah, namun oleh "orang tertentu" dianggap CT langsung mengantongi keuntungan ratusan miliaran rupiah, padahal harga saham terus merosot ke kisaran 500. (sekarang bahkan hanya Rp 460). "CT hanya mendapatkan hak kedudukan dua komisaris yaitu Chris Kanter dan saya, sementara seharusnya haknya adalah dua komisaris dan dua direksi. CT hanya mengelus dada," kata Peter.
Peter bersama yang lainnya telah menyampaikan pendapat kepada CT untuk tidak membeli saham Garuda, namun CT bergeming dan ingin membantu perusahaan yang membawa nama negara ke mancanegara. Dalam perjalanannya, kata Peter, Garuda terus membaik, namun harga saham tetap hanya bertengger di kisaran Rp 450 atau kerugian 200 per saham, sementara CT dikatakan merauk keuntungan ratusan miliar rupiah.
"Pada hari ini, CT Corp melalui investasi saham, bunga, dan perbedaan kurs (pada waktu itu kurs dolar 11 ribu) telah menginvestasi sekitar Rp 7 triliun dan mengantongi rugi sekitar Rp 3,5 triliun," ucap Peter.
Peter mengatakan hak CT dikebiri pada masa Menteri BUMN Rini Soemarno, di mana hanya diberikan satu komisaris. Saat ini, Peter bersama Doni Oskario dan Chairal Tanjung mendapatkan kedudukan komisaris, wakil dirut dan wakil komut untuk mencoba memperbaiki kinerja Garuda.
Peter menilai sudah sepantasnya kelompok CT sebagai partisipan publik terbesar secara terbuka mengkritik manajemen Garuda atas keputusan-keputusan yang merugikan Garuda, bukan hanya dari segi operasional namun juga dari berbagai tindakan korupsi yang terjadi hampir di semua level.
"Hanya fitnah yang diterima CT dan group CT selama ini dari media dan media sosial, dengan tuduhan scenario besar untuk mengambil alih Garuda, namun kita akan tetap semangat mencoba memperbaiki Garuda, perusahaan Nasional kebanggaan kita semua," lanjut Peter.
Peter menyampaikan permohonan maaf dengan menyampaikan informasi ini melalui media sosial. Ia ingin masyarakat mendapatkan gambaran bagaimana sakitnya fitnah yang dirasakan kelompok CT dan Chairul Tanjung pribadi selaku seorang pengusaha nasional yang memperkerjakan lebih dari 150 ribu karyawan.
"Hanya Tuhan yang mengetahui akhir cerita Garuda. Tantangan dan pekerjaan yg luar biasa sulitnya, semoga bisa kita perbaiki," kata Peter menambahkan.