REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting
Era 1970-an merupakan akhir masa kejayaan becak di Jakarta. Sebelum itu, ribuan becak bebas beroperasi di jalan-jalan ibu kota negara. Gubernur Jakarta, Letjen (Marinir) Ali Sadikin menerbitkan instruksi larangan produksi dan memasukkan becak ke Ibu Kota. Pemerintah mengeluarkan aturan jalur yang dilarang dilewati becak, dan hanya menyisakan di pinggiran Jakarta.
Becak begitu ngetop era itu. Ada beberapa lagu tentang angkutan rakyat tersebut, seperti lagu anak-anak ‘Naik Becak’ karya Saridjah Niung alias Bu Soed, istri dari Raden Bintang Soedibjo. Ada pula lagu ‘Abang Becak’ yang dipopulerkan grup musik Bimbo. “Putar-putar, putar putar kaki mengayuh. Pergi jauh, keringat pun lalu jatuh…”
Ya, keringat Roy Simanjuntak pun jatuh di pengadilan. Ia adalah salah seorang ketua KAPBI (Kesatuan Pengemudi Becak Indonesia). Roy ditangkap aparat keamanan dalam peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Dalam peristiwa itu, banyak gerombolan non mahasiswa. Ada pula sejumlah preman, dan tukang-tukang becak dari luar ibukota yang sengaja didatangkan.
“Mereka sengaja disusupkan ke dalam gerakan mahasiswa untuk melakukan kerusuhan seperti penjarahan, pengerusakan dan pembakaran gedung-gedung. Beberapa oknum yang terlibat di dalam kerusuhan itu diduga sengaja diperintah oleh kelompok Letjen Ali Moertopo, asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto,” pengakuan mantan aktivis mahasiswa Malari, Salim Hutadjulu yang diakses di Youtube pada 28 Desember 2012. Salim Hutajulu pada 1974 merupakan aktivis senat mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia
Selain preman dan tukang becak, ada pula Kyai Nur dari pondok pesantren di Banten. Nur mengaku terlibat di dalam kerusuhan Malari 1974. Menurut pengakuan Roy Simanjuntak dan Nur kepada Salim Hutadjulu, mereka diperintah seseorang bernama Ramadi. Salim sempat berada di dalam satu sel penjara bersama Roy dan Nur. Di sel itulah kedua orang tersebut mengakui sebagai anak buah Jenderal Ali Moertopo.
Agen Intelijen
Siapa Ramadi? Ternyata dia bekas kolonel korps hukum , salah satu anggota MPR dari Partai Golkar, sejak 1971. Kolonel Ramadi juga pimpinan Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI). Menurut Salim Hutadjulu, sosok Ramadi dekat dengan dua Aspri presiden yaitu Letjen Ali Moertopo dan Letjen Soedjono Hoemardhani.
Berdasarkan keterangan Heru Cahyono dalam buku ‘Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari’ Ramadi berkantor di Jalan Timor 14 Jakarta, di situlah markas GUPPI. Dalam rapat di markas GUPPI itu, Ramadi bukan bicara soal pendidikan Islam, melainkan menyiapkan gerakan huru-hara di Jakarta. Sekaligus menunggangi aksi mahasiswa menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka (halaman 37).
Ramadi pula yang diduga pembuat dokumen yang menuding Jenderal Soemitro hendak menggulingkan Presiden Soeharto melalui aksi mahasiswa, seperti di Thailand. Dokumen ini dikenal dengan sebutan Dokumen Ramadi. Rapat terakhir juga memutusan, sasaran perusakan adalah mobil-mobil Jepang serta kantor Toyota Astra dan Coca-Cola.
Gerakan ini akan dibungkus dengan isu ‘bantulah mahasiswa’ untuk menciptakan kesan bahwa kerusuhan dilakukan mahasiswa. Bila berhasil, operasi itu bisa memukul Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro yang dikenal dekat dengan mahasiswa. Sekaligus menghukum para aktivis mahasiswa yang mendesak agar aspri dan opsus dihapuskan.
Pertemuan rahasia di Jalan Timor itu dihadiri para orang-orang binaan Ali Moertopo yang berasal dari mantan aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Antara lain Danu Muhammad Hasan (mantan Panglima DI Jawa Barat) dan Ki Mansyur, bekas Gubernur DI/TII Hadir pula. anak Kartosoewirjo, Dardo Kartosoewirjo.
Rapat memutuskan Ramadi sebagai simpul lapangan kerusuhan. Massa yang dimobilisasi berasal dari kelompok aktivis DI/TII Karawang. Termasuk pengikut GUPPI Banten. Di sana massa akan dikoordinasi Kyai Nur. Di luar massa Islam, tukang becak dan preman yang digalang Roy Simanjuntak di Jakarta juga akan bergerak. Roy mendapat tugas khusus menciptakan kerusuhan di wilayah Senen hingga Harmoni.
Pitut Soeharto, salah seorang kepercayaan Ali Moertopo di Opsus, dalam wawancara dengan Heru Cahyono, tidak menyangkal jika sebagian orang binaan Ali di DI/TII terlibat dalam peristiwa Malari. Pitut mengaku ditugasi Ali menggarap berbagai kelompok Islam, juga tidak membantah kabar orang binaan Ali kerap berkunjung ke kantor GUPPI beberapa hari sebelum Malari. Pitut juga membenarkan bahwa mobil Ramadi kerap dipinjamkan kepada orang-orang binaan Ali.
Menurut Heru Cahyono, Ramadi dkk juga diiming-imingi jabatan. Ramadi dijanjikan menjadi menteri dalam negeri. Belakangan dia malah dipenjara tanpa kejelasan kapan akan dibebaskan. Hal itulah yang membuat dia sakit hati dan merasa dikhianati. Dari situlah muncul pengakuan Ramadi bahwa Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani berada ada di balik kerusuhan Malari.
Kemudian pada awal Desember 1974, Ramadi dipindahkan ke rumah sakit. Keluarganya juga dilarang menjenguk. Satu pekan kemudian, Ramadi koma dan meninggal dunia. Ramadi diduga sengaja dibunuh. Soemitro mengatakan, “Ramadi sengaja dibungkam, karena tahu terlalu banyak tahu tentang permainan di belakang layar kasus Malari. “Ini salah satu teori dalam intelijen. Kalau seseorang sudah tahu terlalu banyak, ia harus dilenyapkan”.