Senin 27 Jan 2020 17:11 WIB

Harga Cabai Naik Jadi Omong, Dedi: Giliran Baju tak Ribut

Minat usaha pertanian menurun karena sitgma negatif.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
 Petani memanen cabai merah di Desa Widasari, Indramayu, Jawa Barat.
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Petani memanen cabai merah di Desa Widasari, Indramayu, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mengkritik lembaga yang kerap menyebut harga produk pertanian menyebabkan inflasi. Stigma penyebab inflasi itu kerap disampaikan terutama ketika menjelang bulan puasa (Ramadhan).

"Stigma itu menyebabkan produk pertanian sulit berkembang. Produk pertanian selalu menjadi kambing hitam inflasi, terutama menjelang bulan puasa," kata Dedi melalui sambungan telepon seusai menggelar rapat kerja nasional pertanian di Jakarta, Senin (27/1).

photo
Dedi Mulyadi.

Namun, kata dia, perlakuan itu berbeda ketika harga baju dan sewa transportas naik, saat menjelang puasa. Kenaikan harga itu tidak disebut penyumbang utama inflasi. "Kalau beli produk pertanian, semua ngomong inflasi. Ketika lebaran, orang ribut omong harga cabai, bawang, kol, dan lainnya. Tetapi mereka tak pernah meributi harga baju naik. Sepatu naik. Sewa mobil naik dan harga tiket naik," katanya.

Dedi mengatakan, selain stigma inflasi, problem di dunia pertanian lainnya adalah daya dukung lingkungan yang menurun dan perubahan iklim. Kemudian kerusakan hutan dan gunung, pencemaran sungai sert,a menyempitnya areal pertanian.

Daya dukung sumber daya manusia juga menjadi bagian dari problem pertanian. Kata Dedi, minat usaha pertanian menurun karena sitgma negatif bahwa bertani itu kotor dan kumuh.

Lalu, problem pertanian lainnya adalah penurunan daya dukung masyarakat terhadap produk pertanian. Masyarakat lebih menyukai impor dibanding beli produk pertanian dalam negeri.

Kemudian perlakuan diskriminasi kebijakan untuk petani. Misalnya, subsidi untuk petani disebut inefisiensi.

"Tapi ketika orang-orang kaya ngemplang bank, harus diganti oleh keuangan negara. Investasi diberikan kepada orang kaya, terus hilang seperti kasus Jiwasraya, itu tak disebut inefisien. Padahal subsidi pertanian itu dinikmati jutaan orang," kata mantan bupati Purwakarta itu.

Dedi mengatakan, problem-problem pertanian itu harus dicari solusinya. Terkait masalah menyempitnya lahan pertanian, harus ada revisi rencana tata ruang dan wilayah (RTW). "RTW harus ada pilihan, mau kembangkan tambang atau pertanian," katanya.

Kemudian pertanian diintgrasikan dalam sistem pendidikan. Mata pelajaran siswa di sekolah bisa dipadukan dengan pertanian atau disebut sekolah alam. "Matematika itu bisa belajar menghitung dengan objek produk petanian," katanya.

Lalu solusi problem lainnya seperti stigma inflasi dan inefisiensi subsidi, itu berkaitan dengan kesadaran dan pemahaman pemerintah tentang arti penting pertanian.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement