REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Parlemen Uni Eropa diperkirakan akan meratifikasi prasyarat keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Sehingga, setelah referendum tiga setengah tahun yang lalu Brexit akhirnya benar-benar digelar.
Sebelum pemungutan suara yang akan digelar pada 17.00 GMT atau 00.00 WIB, Rabu (29/1) para anggota parlemen akan berdebat. Sebanyak 751 anggota parlemen dari 28 negara anggota diharapkan akan mengantarkan tahapan akhir proses ratifikasi.
Inggris akan meninggalkan Uni Eropa pada Jumat (30/1) pukul 23.00 GMT. Mulai saat itu, Inggris akan keluar dari blok regional tersebut dan memasuki masa transisi. Hubungan perdagangan antara kedua belah pihak akan mulai dinegosiasikan.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menekankan masa transisi tidak perlu lebih dari satu tahun dan sudah harus selesai pada akhir tahun 2020. Tapi pemimpin-peimpin Uni Eropa dan oposisi pemerintah Inggris mengatakan tenggat waktu yang ditetapkan Johnson tidak akan dapat dicapai.
Beberapa politisi Inggris mengindikasi dalam perundingan peraturan yang melindungi aliran perdagangan mungkin Brussels lebih fleksibel. Tapi dalam beberapa hari terakhir politisi-politisi Eropa menegaskan retorika mereka. Meminta Inggris untuk lebih berkompromi.
Dalam artikelnya di tabloid Jerman Die Zeit Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan bila Inggris masih ingin mendapatkan akses penuh pada pasar tunggal Uni Eropa. Sehingga, mereka harus berkompromi dalam berbagai isu seperti hak konsumen dan perlindungan lingkungan.
"Pada akhir tahun, kami harus memperjelas bentuk hubungan kami," tulis Maas.
Maas mengatakan semua pihak ingin tarif keluar-masuk tetap nol dan tidak ada batasan perdagangan. Tapi hal itu juga berarti tidak ada praktik perdagangan dumping dan kompetisi yang tidak adil.
"Tanpa adanya standar perlindungan yang sama terhadap pekerja kami, konsumen kami, dan lingkungan, maka tidak ada akses penuh terhadap pasar tunggal di dunia," kata Maas.
Kepala negosiator Uni Eropa Michael Barnier mengatakan blok Eropa tidak akan pernah berkompromi dalam hal integritas pasar tunggal. Ia mengatakan setelah meremehkan kerugian pergi dari Uni Eropa sekarang London harus menghadapi realitanya.
"Meninggalkan pasar tunggal, meninggalkan bea cukai akan ada konsekuensinya, dan apa yang saya lihat, tahun lalu, Inggris banyak meremehkan konsekuensi-konsekuensi itu," kata Bernier.
Bernier mengatakan Brussel bersedia untuk melakukan perundingan yang pragmatik dan fleksibel. Pilihan Inggris membuat perdagangan tanpa gesekan dengan Uni Eropa tidak memungkinkan.
Bila tidak ada kesepakatan perdagangan yang berhasil dicapai. Inggris masih menghadapi risiko pada 2021 saat masa transisi selama 11 bulan habis.
Sebelumnya, Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar mengatakan dalam perundingan pasca-Brexit Uni Eropa jauh lebih unggul dibandingkan Inggris. Ia juga mempertanyakan tenggat waktu yang ditetapkan Johnson.
Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi BBC, Varadkar membandingkan kedua belah pihak sebagai tim sepakbola. Menurutnya Uni Eropa tim yang lebih 'kuat' karena memiliki populasi dan pasar yang lebih besar.
"Uni Eropa adalah persatuan 27 negara anggota, Inggris hanya satu negara, dan populasi dan pasar kami mencapai 450 juta jiwa," kata Varadkar kepada BBC.
Menurut Varadkar akan sulit meraih kesepakatan pada akhir 2020 seperti yang diperkirakan oleh Johnson. Varadkar mengatakan untuk meraih kesepakatan perdagangan Inggris harus memberikan jaminan hukum yang tidak akan melemahkan Uni Eropa.
Perdana Menteri Irlandia itu mengatakan kedua belah pihak harus menyepakati 'standar minimum umum' yang akan menjadi 'standar tinggi'. Varadkar mengakui tahun lalu ia khawatir Inggris akan meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Namun, terjadi terobosan dalam pertemuannya dengan Johnson bulan Oktober tahun lalu. Dalam wawancara ini, Varadkar memperingatkan harus tetap ada pemeriksaan barang dari perbatasan Inggris ke Irlandia Utara. Sementara Johnson bersikeras hal itu tidak perlu ada.