REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Negara-negara Timur Tengah lebih memprioritaskan untuk mempererat hubungan dengan AS demi melawan balik pengaruh Iran dalam menanggapi rencana perdamaian Timur Tengah yang diajukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Tanggapan Arab Saudi memperlihatkan mereka berhati-hati dalam menjaga keseimbangan yang mereka dan negara-negara Arab lainnya butuhkan.
Kekuatan-kekuatan Arab mengandalkan dukungan militer dan finansial AS. Mereka pun bersekutu dengan AS dan Israel dalam menghadapi Iran.
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengungkapkan apresiasi pada upaya Trump dan dukungan pada negosiasi perdamaian Timur Tengah yang digelar di bawah naungan AS. Di saat yang sama, media Arab Saudi melaporkan Raja Salman menelepon presiden Palestina untuk menyatakan dukungannya yang tak tergoyahkan kepada perjuangan Palestina.
Mesir dan Yordania sudah membuat kesepakatan damai dengan Israel. Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab juga menggunakan bahasa yang sama demi menjaga keseimbangan antara memulai kembali perundingan damai dan berhati-hati meninggalkan sikap bermusuhan yang lama mereka terapkan terhadap Israel.
Walaupun Palestina menolak rencana tersebut dan memboikot Trump karena sikapnya yang sangat pro Israel, tiga negara Teluk yakni Oman, Bahrain, dan Uni Emirat Arab menghadiri acara pengumuman perdamaian ini pada Selasa (30/1) lalu di Gedung Putih.
Negara-negara Timur Tengah tidak selalu rukun. Palestina kerap menjadi isu yang menyatukan mereka.
Namun isu tersebut juga kerap menjadi sumber perpecahan di mana negara-negara itu saling mempertanyakan dukungan masing-masing. Beberapa negara melakukan pendekatan independen dan pragmatis terhadap musuh historis mereka yaitu Israel.
Dalam acara di Gedung Putih, Trump dan Netanyahu memuji duta besar Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Oman yang bersedia hadir dalam acara pengumuman rencana perdamaian Timur Tengah. Para kritikus menilai kehadiran duta besar negara-negara Arab tersebut sebagai sesuatu yang 'memalukan'.
"Tidak ada pemerintah atau penguasa yang ingin melihat Palestina dijual begitu murah dan memberikan kemenangan pada Netanyahu dan pada akhirnya untuk membayar tagihan," kata peneliti senior lembaga think-tank Britain Chatham House, Neil Quilliam, Kamis (30/1).
Dalam rencana tersebut Trump mengusulkan pembentukan negara Palestina tetapi perbatasan dan demiliterisasi sesuai dengan kepentingan keamanan Israel. AS juga mengakui permukiman Israel di Tepi Barat yang menurut hukum internasional ilegal dan menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Pada saat yang sama semua negara kecuali Mesir tergantung pada AS dan tidak mau mengambil resiko membuat Trump marah, mengingat kecenderungannya bertindak seperti anak kecil," tambah Quilliam.
Rencana perdamaian AS ini menyimpang dari kebijakan luar negeri mereka sebelumnya. Rencana itu juga menyimpang dari inisiatif yang didukung Liga Arab yang mendorong perbaikan hubungan dengan Israel demi terbentuknya negara Palestina.