Jumat 31 Jan 2020 07:43 WIB

Mushala Dirusak, Anton Tabah: Tak Boleh Persulit Ibadah

Anton Tabah menyebut kebebasan ibadah diatur konstitusi UUD 1945 dan Pancasila.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Andi Nur Aminah
Wakil Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anton Tabah.
Foto: Republika
Wakil Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anton Tabah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anton Tabah mengatakan sudah mendengar kasus perusakan mushala di Perum Agape, Tumaluntung, Minahasa Utara. Dia juga mendapat laporan dari tokoh-tokoh Minahasa sepakat ganti rugi dan membantu kelancaran perbaikan tempat ibadah umat Islam yang dirusak.

"Terkait soal hukum terhadap pelaku perusakan diserahkan yang berwajib yang kini sudah beberapa pelaku yang ditangkap," katanya melalui keterangan tertulisnya, Kamis (30/1) kemarin.

Baca Juga

Purnawiran Polri ini mengingatkan semua warga negara Indonesia tanpa kecuali tidak boleh mempersulit apalagi menghalang-halangi ibadah umat lain. Kebebasan ibadah diatur konstitusi UUD 1945 dan Pancasila.

"Jangan hanya berteriak saya Pancasila tapi nihil dari sifat-sifat kelima sila tersebut," katanya.

Meski begitu, Anton berpendapat perusakan rumah ibadah umat Muslim membuktikan siapa yang radikal dan intoleran. "Dari kasus banyaknya rumah ibadah umat Islam dirusak bisa membuka mata pemerintah siapa yang intoleran dan radikal," kata Anton

Selama ini umat Islam kata Anton selalu menerima cap radikal dan intoleran. Padahal, umat Islam selama ini tidak pernah mengganggu apalagi merusak rumah ibadah umat lain.

Anton mengatakan, menyelesaikan silang selisih rumah ibadah di berbagai daerah memang sering menemukan masalah komunikasi antarumat beragama. Untuk itu harus dibangun komunikasi yang lebih komunikatif mengendepankan pendekatan sosial yang beradab.

"SKB Menteri yang mengatur pendirian rumah ibadah dengan tanda tangan minimal 60 orang warga sekitar, tidak boleh kaku," katanya.

Menurut dia, jika memang di sekitar tempat tersebut belum ada rumah ibadah, padahal sangat dibutuhkan oleh warga setempat maka boleh dibangun rumah ibadah. Hal tersebut jika sudah ada tanda tangan warga setempat bisa jadi bahan pertimbangan.

 

Anton mengatakan, kasus Perum Agape Minahasa bisa divasilitasi tokoh-tokoh di Minahasa dengan hasil yang terukur sebagaimana yang pernah dilakukannya ketika menangani kasus Masjid Tolikara Papua. Anton mengatakan, tokoh-tokoh umat Kristen setempat marah dan mengutuk keras terhadap perusakan masjid di daerah tersebut. Para tokoh umat Kristian juga meminta pemda segera terbitkan izin pendirian masjid tersebut karena keberadaannya sangat diperlukan umat Islam.

"Akhirnya mereka mengganti rugi kerusakan dan akan bantu kelancaran pembangunan masjid. Alhamdulillah tidak sampai sebulan Tolikara sudah punya masjid lagi dan lebih bagus lebih strategis," katanya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement