REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua dan Pendiri Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) Marzuki Darusman mengritisi harga rokok eletrik yang dianggap masih tinggi. Menurut dia, dunia bisnis saat ini terus melakukan berbagai upaya untuk mengurangi risiko kesehatan melalui inovasi-inovasi.
Dia mengatakan, produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik ini merupakan salah satu inovasi yang ditujukan untuk mengurangi risiko kesehatan yang timbul dari kebiasaan merokok. “Setiap individu paling tidak harus menyadari hak mereka atas informasi dan hak mereka untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmiah,” kata dia di Jakarta, Selasa (4/2).
Ia mengingatkan agar pelaku usaha tidak bisa hanya menunggu pemerintah untuk mengeluarkan aturan perundang-undangan yang dirancang untuk melindungi pelanggan. Melainkan, kata Marzuki, harus proaktif menginformasikan kepada publik tentang inovasi ilmiah yang berpotensi mengurangi bahaya bagi kesehatan mereka.
“Pelaku usaha harus secara aktif menginformasikan kepada publik tentang inovasi ilmiah yang mungkin kurang berbahaya bagi kesehatan mereka. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan kajian ilmiah mendalam mengenai produk ini agar masyarakat mendapatkan informasi yang valid dan lebih mudah dipahami,” kata Marzuki.
Bagi sebagian perokok, beralih ke produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik merupakan salah satu cara untuk mereduksi risiko kesehatan. Dia berpandangan, rokok elektrik yang dikategorikan sebagai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) di Indonesia, dianggap relatif mahal. Konsumen harus merogoh kocek cukup dalam untuk dapat menggunakan produk ini.
Sebagai gambaran, rata-rata harga cairan rokok elektrik alias liquid vape di Indonesia berkisar Rp100 ribu - Rp250 ribu per botol. Sementara peralatan rokok elektrik dijual dengan rentang harga Rp100 ribu - Rp3 juta tergantung pada merek dan kualitasnya.
Ilham Riski (32), pemilik jaringan binatu di Jakarta yang menjadi perokok aktif selama bertahun-tahun mengatakan dirinya bertahan pada rokok konvensional karena cenderung lebih murah.
“Mau sih (beralih) ke produk tembakau alternatif seperti vape, karena sudah ada penelitian di luar negeri yang mengatakan bahwa produk ini lebih rendah risiko dibandingkan terus merokok, namun biaya awalnya sangat tinggi,” katanya.
Saat ini, harga jual eceran (HJE) rokok elektrik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam aturan tersebut rokok elektrik yang masuk dalam kategori HPTL dikenakan tarif cukai maksimal berdasarkan UU Cukai yakni sebesar 57 persen dari HJE.
Pada akhir 2019, Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengungkapkan rencana pihaknya untuk menaikkan HJE rokok elektrik mengikuti kenaikan cukai yang dialami oleh rokok.
Bea Cukai melalui Direktur Teknik dan Fasilitas Cukai Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengungkapkan, dari total penerimaan cukai IHT, industri HPTL diklaim hanya berkontribusi sebesar Rp 426,6 Miliar atau kurang dari 1 persen.
“Untuk sektor yang baru dikenakan cukai dan ditambah pelaku usahanya juga baru, perolehan ini cukup signifikan ditengah sulitnya memompa penerimaan dari perpajakan secara umum,” ujar Nirwala.