REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hubungan antara kerajaan-kerajaan Jawa dan Kekhalifahan Turki Utsmani masih menjadi misteri. Relasi keduanya memang tak seperti kontak dengan Aceh Darussalam yang masih bisa dibuktikan dengan beragam dokumen korespondensi. Meski rasanya amat kental, bukti-bukti yang menyokong itu masih sumir.
Beberapa potongan cerita klasik masyarakat Jawa menyebutkan Rum, yakni sebutan Turki Utsmani oleh masyarakat Jawa. Deden A Herdiansyah dalam Jejak Kekhalifahan Turki di Nusantara menyebutkan, Kitab Musarar Ian Jaya Baya menceritakan awal mula terbentuknya masyarakat Jawa.
Kitab ini menjelaskan, Sultan Rum Kanjeng Sultan Algabah menerima wangsit untuk membudayakan Tanah Jawa. Lewat wangsit itu, dia mengutus seorang pelarian dari Arab bernama Ajisaka atau Jaka Sengkala untuk memimpin ekspedisi ke Jawa. Setelah gagal pada ekspedisi pertama, Sultan Algabah kembali melanjutkan ambisinya pada ekspedisi kedua dan ketiga. Dalam ekspedisi tersebut, sultan mengirim Patih Amirulsyamsu dan 20 ribu orang keling dari India.
Setelah pekerjaan menghidupkan Jawa selesai, rombongan ekspedisi kembali ke negerinya bersama Patih Amirulsyamsu dan Said Jamhur Muharam. Sementara itu, Ajisaka melanjutkan hidupnya di Jawa bersama orang-orang keling.
Perang Jawa (1825-1830) juga menguak adanya nama yang kemungkinan besar terinsipirasi dari Turki Utsmani. Pangeran Diponegoro bahkan menyebut dirinya Kanjeng Sultan Ngabdulkamid. Lengkapnya, Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirulmukmina Khalifatul Rasululullah Hamengkubuwono Senapati Ingalaga Sabilullah ing Tanah Jawi.
Menurut Riflecks, nama Ngabdulkamid terinspirasi dari Abdul Hamid I, Sultan Turki Utsmani yang menyatakan diri sebagai penguasa seluruh dunia. Diponegoro bertujuan menempatkan dirinya sebagai Abdul Hamid II yang bernisbat dengan Sultan Abdul Hamid I.
Sistem kepangkatan di dalam pasukan Pangeran Diponegoro juga dibuat sesuai dengan Turki Utsmani. Pangkat militer paling tinggi adalah Alibasah, yaitu panglima yang membawahi pasukan (infanteri dan kavelari), setara dengan jabatan komandan divisi dalam pasukan Janissari. Jabatan ini dipegang oleh empat orang, yakni Alibasah Kerto Pengalasan (Tumenggung Wirodirejo), Alibasah Pangeran Sumonegoro (Komandan di Kulonprogo, Alibasah Kasan Besari, adik Kiai Mojo, Alibasah Muhammad Ngusman. Sementara itu, panglima tertinggi militer dipegang oleh Sentot Prawirodirdjo yang lebih dikenal dengan nama Sentot Alibasah.
Setelah pangkat Alibasah, ada pangkat Basah yang dipercayakan kepada Basah Mertonegoro, Basah Ngabdul Latip dan Basah Gondokusumo. Pangkat selanjutnya adalah Dulah (Agadulah), komandan militer yang membawahi 400 orang prajurit, setara dengan datasemen. Pangkat paling rendah adalah Seh, yang membawahi pasukan setara dengan kompi. Dari semua fakta tersebut, tidak diragukan lagi jika Diponegoro memiliki pengetahuan tentang Utsmani.
Salah satu yang meyakini adanya hubungan antara kedua peradaban tersebut, yakni KH Susetyo, salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta. Kepada Republika, Kiai Yoyoh, sapaan akrabnya, mengatakan, ada manuskrip catatan Keraton Yogyakarta mengenai Konco Kaji Selusin. Kelompok imam berjumlah 12 orang yang bertugas menjadi penasihat agama.
Menurut Kiai Yoyoh, dua belas imam tersebut aslinya berasal dari Turki. Mereka didatangkan sejak Sultan Muhammad al-Fatih berkuasa. Dua belas imam itu diutus untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Artinya, ujar dia, hubungan antara Utsmani dan Jawa sudah dimulai sejak era Kesultanan Demak. Keberadaannya dipertahankan hingga sekarang. Kiai Yoyoh menjadi salah satu dari penerus Kaji Selusin tersebut. Dia pun kerap memimpin penyelenggaraan shalat di keraton. "Keraton Yogya malah punya sanad ke sana. Sahih," ujar dia.
Meski begitu, Kiai Yoyoh tidak bisa memastikan pada masa pemerintahan siapa surat tersebut sampai. Menurut dia, Konco Kaji Selusin pun sudah tidak murni berasal dari Turki meski diwariskan secara turun-temurun. "Sampai hari ini sudah campur-campur," ujar dia.
Tidak hanya itu, Kekhalifahan Utsmani juga disebut menitipkan bendera kepada Keraton Yogyakarta. Saat berpidato pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta pada 9 Februari 2015, Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan, adanya hubungan Kerajaan Demak dengan Turki Utsmani yang dibuktikan dengan penyerahan bendera.
"Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa. Perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa dengan menyerahkan bendera la ilaha illallah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain kiswah Ka'bah dan bendera bertuliskan Muhammadadur Rasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai pusaka. Penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil kekhalifahan saat itu dari Turki," kata Sri Sultan.
Kiai Yoyoh mengamini pidato sultan. Dia menjelaskan, ada bendera dari Turki Utsmani yang disimpan di Keraton Yogyakarta hingga sekarang. Di dalam bendera berbahan beludru itu, Kiai Yoyoh menjelaskan, tertera lambang bulan sabit dan tulisan berbahasa Arab.
Menurut dia, bendera itu dibawa ke Yogya karta selepas Turki Utsmani dibubarkan Kemal Attaturk. Bendera hitam yang disebut Kiai Tunggul Wulung itu diedarkan pihak keraton saat musibah mendera.