REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pasukan Suriah mengambil alih kontrol kota Saraqeb di Provinsi Idlib yang dikuasai kelompok oposisi pada Sabtu (8/2). Hal itu diklaim merupakan kemajuan strategis.
"Unit-unit tentara sekarang memegang kendali penuh atas kota Saraqeb," kata televisi Pemerintah Suriah dalam laporannya sambil menampilkan jalan-jalan kota yang sepi, dikutip laman Aljazirah.
Saraqeb dinilai sebagai kota strategis. Sebab persimpangan jalan M4 dan M5 berada di kota tersebut. M5 adalah jalan terpanjang di Suriah. Ia menghubungkan kota Aleppo dan Damaskus. Jika ditempuh terus hingga ke selatan, M5 akan menemui perbatasan Yordania.
Dengan direbutnya Saraqeb, kini kelompok oposisi menguasai separuh dari Provinsi Idlib. Aksi militer Suriah merebut kembali Saraqeb dilakukan saat Turki memperkuat kehadiran militernya di Idlib.
Ankara diketahui mendukung kelompok oposisi yang pernah bertujuan menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Turki mengancam akan merespons aksi pasukan Suriah jika pos-pos pengamatan militernya di Idlib diserang.
"Pos pengamatan kami di Idlib melanjutkan tugas mereka dan mampu melindungi diri mereka dengan senjata dan peralatan yang mereka miliki. Jika terjadi serangan baru, respons yang tepat akan diberikan dengan cara paling kuat, berdasarkan pada hak membela diri," kata Kementerian Pertahanan Turki melalui akun Twitter resminya.
Turki memiliki 12 pos pengamatan militer di Idlib. Ia menyebut tiga pos terdepan, yang seluruhnya terletak di tenggara Idlib, telah dikepung tentara Suriah.
Pos-pos pengamatan Turki di Idlib didirikan berdasarkan kesepakatan dengan Rusia pada 2018. Tujuannya adalah mencegah terjadinya pertempuran besar yang berpotensi memicu krisis kemanusiaan berikutnya.
Rusia dan Iran diketahui merupakan sekutu utama Suriah. Kedua negara itu telah membantu pemerintahan Assad memerangi kelompok oposisi bersenjata dan teroris seperti ISIS.
Para pejabat Turki dan Rusia telah bertemu di Ankara untuk mendiskusikan krisis di Idlib. "Langkah-langkah yang dapat diambil untuk membangun perdamaian di lapangan sesegera mungkin dan memajukan proses politik dievaluasi," kata Kementerian Luar Negeri Turki.
Sementara itu Iran mengatakan siap membantu Turki dan Suriah menyelesaikan perbedaan pandangan di antara mereka terkait perang yang telah berlangsung selama hampir sembilan tahun di Suriah. Hal itu disampaikan pejabat Kementerian Luar Negeri Iran saat bertemu utusan PBB untuk Suriah Geir Pedersen.
"Selama pertemuan itu, Iran menegaskan bahwa warga sipil di Suriah tidak boleh digunakan sebagai perisai manusia, dan bahwa Iran siap menjadi penengah antara Turki dan Suriah guna menyelesaikan masalah tersebut," kata Kementerian Luar Negeri Iran melalui situs resminya.
Sejak Desember tahun lalu, pasukan Suriah telah melancarkan serangan agresif ke Idlib dengan bantuan atau dukungan Rusia. Menurut PBB, lebih dari 300 warga sipil tewas selama pertempuran. Sementara sekitar 600 ribu warga lainnya kehilangan tempat tinggal.
Konflik sipil Suriah telah berlangsung sejak 2011. Lebih dari 360 ribu warga tewas selama peperangan. Pertempuran dalam jangka waktu yang cukup panjang itu juga telah memaksa jutaan warga Suriah mengungsi ke berbagai negara di dunia, terutama Eropa.
Turki merupakan negara yang paling banyak menampung pengungsi Suriah. Tercatat 3,6 juta pengungsi Suriah tinggal di Turki.