Rabu 12 Feb 2020 13:54 WIB

AGI Perkirakan Kebutuhan Impor Gula Konsumsi 1,3 Juta Ton

Produktivitas gula tahun ini diperkirakan turun sekitar 10 persen.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Proses produksi gula dalam pabrik (ilustrasi)
Foto: fxcuisine.com
Proses produksi gula dalam pabrik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Gula Indonesia (AGI) memperkirakan akan terjadi defisit neraca gula kristal putih (GKP) ada tahun 2020. Hal itu berdasarkan proyeksi penurunan produksi gula selama setahun ke depan. Diperlukan tambahan impor gula untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Direktur Eksekutif AGI, Budi Hidayat, mengatakan, produksi gula tahun 2020 diperkirakan hanya mencapai 2,05 juta ton. Selain itu terdapat sisa stok 2019 yang menjadi stok awal 2020 sebanyak 1,08 juta ton sehingga total ketersediaan gula tahun ini sebanyak 3,13 juta ton.

Baca Juga

Adapun kebutuhan gula konsumsi tahun 2020 mencapai 3,16 juta ton sehingga terdapat defisit sekitar 29 ribu ton. "Untuk pemenuhan kebutuhan tahun 2020 sekaligus sebagai persiapan awal 2021 maka diperlukan impor gula untuk konsumsi langsung," kata Budi dalam Sugar Outlook 2020 di Jakarta, Rabu (12/2).

Berdasarkan hitungan AGI setidaknya dibutuhkan impor gula konsumsi sebanyak 1,33 juta ton. Kebutuhan itu selain untuk menutupi defisit 2020 sekaligus sebagai persediaan awal tahun 2021. Apalagi, diproyeksikan produktivitas gula tahun ini diperkirakan turun sekitar 10 persen imbas kemarau panjang tahun 2018-2019.

Sebagaimana diketahui pada tahun lalu pemerintah tidak membuka keran impor untuk gula konsumsi. Impor gula hanya dibuka khususu untuk kebutuhan gula rafinasi bagi industri makanan dan minuman dalam negeri. Di tengah kebijakan tersebut, musim kemarau panjang melanda Indonesia dan mempengaruhi siklus tanaman tebu. 

Staf Ahli AGI, Yadi Yusriyadi, menambahkan perlu adanya penataan impor gula konsumsi secara tepat untuk menghindari defisit dan menjaga iklim usaha tebu rakyat. Sebab, defisit gula akan menyebabkan kenaikan harga gula di toko ritel dan dirasakan langsung oleh masyarakat.

"Harga gula sekarang rata-rata sudah tidak Rp 12.500 per kilogram lagi, tapi sudah naik jadi Rp 13 ribu - Rp 14 ribu. Ini sudah mulai terasa. Kalau tidak segera impor nanti akan langka," kata Yadi.

Yadi menambahkan, gula kristal putih yang menjadi gula konsumsi langsung juga untuk kepentingan industri hotel restoran dan katering. Yadi menuturkan, dalam waktu dekat harga gula akan terus mengalami kenaikan karena minimnya ketersediaan di dalam negeri.

"Kapan impornya itu tergantung dari pemerintah waktunya. Kalau sampai Desember 2020 belum terealisir, persediaan gula konsumsi hanya sedikit padahal butuh persiapan untuk awal 2021," kata Yadi.

Lebih lanjut Yadi mengatakan disamping masih perlunya bantuan impor gula konsumsi, upaya untuk peningkatan produktivitas gula di dalam negeri dan perluasan lahan harus terus dilanjutkan. Secara ideal, produktivitas gula dalam negeri minimal harus mencapai 7 ton per hektare dari saat ini masih di bawah 5,4 ton per hektare.

Adapun, luasan lahan yang dibutuhkan untuk bisa memproduksi gula sesuai kebutuhan nasional seluas 900 ribu hektare dari saat ini sekitar 411 ribu hektare. Disamping itu, penggunaan varietas tebu sebagai tanaman penghasil gula harus sesuai dengan kondisi iklim di masing-masing wilayah.

"Kami selalu sampai bahwa program untuk promosi kenaikan produktivitas tebu agar naik masih sangat diperlukan," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement