REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dinilai tidak mencerminkan sikap seorang pelayan publik dengan menyatakan dokumen berisi data tahanan politik dan korban tewas di Papua sebagai sampah. Padahal, esensi jabatan menteri seharusnya merupakan pembantu rakyat, bukan presiden.
"Pernyataan ini bukan sikap seorang pelayan publik yang bertindak untuk kepentingan publik," ungkap Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, melalui pesan singkat, Rabu (12/2).
Menurut Asfinawati, jabatan menteri pada esensinya ialah pembantu rakyat, bukan pembantu presiden. Menteri, kata dia, bekerja agar harapan rakyat yang kesepakatannya terdapat di konstitusi bisa tercapai.
"Masak data orang meninggal diperlakukan seperti itu. Sampah artinya akan dibuang," kata dia.
Selain itu, ia juga menyoroti, pernyataan Mahfud menggambarkan tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni tidak akan membaca dokumen tersebut. Ia menyayangkan hal tersebut mengingat masa-masa ketika Jokowi hendak maju sebagai presiden.
"Jokowi saat mau jadi presiden selalu blusukan. Artinya kalau pernyataan Mahfud benar dia sedang membuka kedok presiden kalau blusukan, yang artinya mendengarkan keluhan rakyat, hanya pencitraan bohong-bohongan," jelas dia.
Sebelumnya, Mahfud menilai dokumen yang diserahkan oleh tim salah satu aktivis dan pengacara HAM, Veronica Koman kepada Presiden Jokowi tidak penting. Bahkan ia menganggap dokumen tersebut hanya merupakan sampah.
Dokumen yang diserahkan oleh tim Veronica tersebut berisi data tahanan politik dan korban tewas di Papua. "Belum dibuka kali suratnya. Suratnya kan orang banyak. Rakyat biasa juga ngirim surat ke Presiden. Kalau memang ada sampah sajalah itu," ujar Mahfud di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2).
Kendati demikian, Mahfud mengaku tak mengetahui apakah surat tersebut sudah dibuka oleh Presiden atau belum. Sebab, tak sedikit masyarakat Indonesia yang juga mengirimkan surat kepada Presiden.
"Kalau soal Koman itu saya tau surat seperti itu banyak. Orang berebutan salaman, kagum, kemudian kasih map, amplop surat itu. Jadi tidak ada urusan Koman itu karena surat yang dibawa banyak," jelas dia.